Membangun Harapan di Tengah Bencana Alam
Hujan deras mengguyur kawasan Pantai Carita, Pandeglang, Banten, Senin (31/12/2018) malam. Bibir Sanih (45) tak henti berdoa sembari tangan kanannya menggenggam tasbih di Masjid Al-Khusaeni, Carita. Ia duduk bersila dan mata terpejam.
Bersama ratusan penyintas bencana tsunami Selat Sunda lainnya, Sanih memintal harapan. Orang tua dan anak-anak memenuhi ruangan dan teras masjid. Gema zikir mereka menembus suara guyuran air hujan.
Acara doa bersama pada malam pergantian tahun itu rutin diikuti warga setempat setiap tahun. Hanya saja, tersirat asa berbeda pada tahun ini seusai bencana tsunami menerjang pesisir Banten, 22 Desember malam.
Mereka berharap tak ada lagi bencana. ”Semoga Allah meng-ijabah (mengabulkan) doa kami di tahun baru ini, agar tidak ada lagi korban bencana,” kata Sanih lirih.
Bagi dia, doa bersama itu menjadi momentum untuk bangkit dari keterpurukan. Ia ingin kembali beraktivitas setelah lebih dari seminggu berada di pengungsian.
Amah (39) juga larut dalam khidmat doa. Ada harapan yang ingin disampaikannya lewat doa. Ia berharap perekonomian dan wisata segera pulih pascatsunami.
”Kalau wisata tidak segera pulih, saya tidak bisa mendapat uang,” ucap Amah yang sehari-hari bekerja menyewakan ban bagi para pengunjung untuk berenang di tepi pantai.
Di antara kerumunan pendoa, ada Dinda (19) dan Desi (37) yang juga membangun harapan. Keluarga Dinda terpencar selama beberapa hari. Mereka mengungsi ke desa berbeda. ”Kami akhirnya bisa berkumpul setelah lima hari terpisah di pengungsian,” ujar Dinda.
Meskipun sudah merasa lebih aman karena selama beberapa hari tidak ada bencana susulan, keluarga Dinda tetap waspada. Mereka membagi tugas berjaga setiap malam. Tidak ada malam yang dilewati dengan semua orang terlelap.
Dinda berharap, di tahun yang baru ini, pemerintah memperbaiki mitigasi bencana agar semua warga bisa mengungsi secara terpola saat tsunami menerjang. Perbaikan ekonomi juga perlu segera digenjot agar warga dapat kembali memiliki penghasilan.
Di sela-sela doa bersama, panitia dan pengurus masjid membagikan minuman kacang hijau dan makanan ringan kepada penyintas bencana yang datang. Sesama warga saling menyapa dan menguatkan untuk bangkit. Dalam duka akibat bencana, mereka masih menyisakan senyum yang menenangkan.
Berdasarkan catatan di Posko Terpadu Bencana Tsunami Selat Sunda, hingga Selasa (1/1), tsunami menyebabkan 317 orang tewas, 757 orang luka-luka, dan 24.926 warga mengungsi di Banten. Carita, Kabupaten Pandeglang, merupakan salah satu lokasi yang terdampak paling parah dengan 71 orang tewas.
Acara doa bersama ini mengajak warga untuk melakukan refleksi atas kehidupan mereka sehari-hari. Tujuannya menyasar dua hal, yakni mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mempererat hubungan sesama warga.
Sementara itu, di Lampung, malam pergantian tahun berlangsung sunyi bagi penyintas bencana tsunami asal Pulau Sebesi. Namun, sanubari mereka tetap riuh dengan berbagai harapan di tahun mendatang.
Beberapa jam menjelang pergantian tahun, hampir setengah dari sekitar 900 pengungsi yang berada di sana memilih untuk tidur ditemani alunan zikir dan doa serta harapan di tahun mendatang.
Bencana mungkin mengurangi kesempatan orang untuk berbahagia. Begitu juga dengan kemiskinan. Meskipun demikian, bagi banyak orang, selalu ada cara untuk bahagia di tengah kemiskinan yang mendera.
Cara sederhana
Adef (51), tukang las, menemukan kebahagiaan saat melihat anaknya, Bulan (8), gembira menonton kembang api. Cara sederhana berbahagia juga diungkapkan Nurseha (45), pedagang kerak telor di Setu Babakan, Jakarta.
Malam itu dia tiba-tiba meninggalkan dagangannya berlari menuju panggung utama Unit Pengelola Kawasan (UPK) Setu Babakan ketika mendengar musik gambus.
Bagi Nurseha, bahagia itu ketika hidup dinikmati tanpa perlu gengsi. Berjoget adalah ekspresi kegembiraan dari kesibukannya sebagai pedagang kerak telor yang selalu menghabiskan hari dengan duduk. ”Kita perlu berbahagia dari hal yang sangat sederhana seperti berjoget?” ujarnya.
Di jantung Jakarta, hujan mengguyur sebagian besar wilayahnya sejak sore hingga menjelang pergantian tahun. Jelang malam, laki-laki bertelanjang kaki dengan ujung celana yang basah berkeliling menjajakan mantel plastik seharga Rp 20.000. ”Sandalnya putus tadi,” kata Sayidi (57).
Tubuh kurus Sayidi yang terbungkus mantel plastik sesekali menghampiri anak dan istrinya yang berjualan air minum. Sayidi memperbaiki posisi mantel putri bungsunya.
Bagi Sayidi, kebahagiaan datang ketika berkumpul bersama keluarga. Seperti yang dilakukan malam ini, membawa ketiga anaknya untuk menyaksikan kembang api.
Menjelang pukul 24.00, banyak kembang api dinyalakan. Bibir putri bungsunya tersenyum. Di tengah kerumunan orang yang mengambil gambar, video, ataupun berswafoto, mereka melihat dengan senyum dan diam.
Bagi penyintas bencana, selalu ada ruang untuk memupuk harapan. Sementara bagi warga miskin kota, ruang untuk berbahagia senantiasa terbuka. Itu berlaku bagi siapa saja. (ILO/NIA/MTK/BAY/SPW/IGA/E10/E17/E16/E19/E20)