Lima Detik yang Mencekam di Kampung Adat Sirnaresmi
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
Gemuruh besar menggetarkan kampung adat Sirnaresmi, Senin (31/12/2018) pukul 18.10. Deden Supendi (30), yang sedang berada di dalam rumah, terkejut bercampur takut mendengarnya. Saat memeriksa keluar rumah, Deden melihat runtuhan tanah mengubur sebagian kampungnya hanya dalam 5 detik.
”Suara apaan ini? Masa suara mobil kaya gini? Suara gemuruhnya besar banget. Saya langsung keluar rumah. Di luar terlihat debu tebal dan tanah jatuh dari bukit. Saya langsung lari menyelamatkan diri,” kata pria yang berprofesi sebagai guru ngaji itu pada Rabu pagi.
Longsoran tanah dari ketinggian sekitar 50 meter itu begitu cepat. Deden tidak punya peluang untuk melarikan diri. Untungnya, longsor hanya menghantam sedikit bagian dapur rumahnya. Dia berhasil selamat tanpa lupa sedikit pun.
Setelah itu, suasana di kampung adat mencekam. Di balik debu yang menyelimuti, banyak teriakan warga meminta pertolongan. Mendengar itu, Deden tanpa berpikir panjang langsung bergegas mencari keluarga dan tetangganya.
Pertama-tama, Deden memeriksa keberadaan mertuanya, Sukirman dan Umi. Namun, rumah mertuanya sudah tertimbun. Tidak ada jawaban ketika dia mencoba memanggil keduanya. Kondisi serupa terjadi saat dia menuju rumah kakak perempuannya.
”Karena putus asa, saya tolongin orang lain yang berteriak minta bantuan. Saya menemukan ada suara dari timbunan dekat rumah. Ternyata itu Bapak Bengkong, tetangga di sini. Langsung panggil keluarganya untuk bantu selamatkan. Akhirnya dia berhasil diselamatkan setelah beberapa jam,” ucap Deden.
Bencana pada malam Tahun Baru itu menimbun 29 rumah yang berisikan 100 jiwa. Sebanyak 64 orang, termasuk Deden, berhasil selamat, 3 orang luka berat, 13 meninggal dunia, dan 20 orang belum ditemukan.
Pada Rabu siang, tim SAR gabungan berhasil menemukan jenazah Sukirman (70) dan Umi (75). Sebelumnya, suami dari kakak Deden, Ahudi, juga ditemukan meninggal di dekat mushala. Sementara itu, kakak Deden belum ditemukan hingga proses evakuasi dihentikan pada Rabu sore.
Keajaiban
Deden mengatakan, dia tidak menyangka bisa selamat dari longsor itu. Biasanya, pukul 17.30, dia sudah berada di mushala untuk menemani anak-anak mengaji. Namun, hari itu, karena lelah, dia tertidur sebentar di sofa sambil menonton televisi.
Uniknya, anak-anak yang biasanya sudah datang sebelum pukul 18.00 pun belum datang ke mushala. ”Itu juga aneh. Anak-anak banyak yang selamat karena itu. Kalau saya di mushala, tidak tahu nasibnya gimana. Karena mushala sudah rata dengan tanah sekarang,” katanya.
Dua anak yang selamat, Farrel (6) dan kakaknya bernama Hengki (12), adalah keponakan Deden. Saat kejadian, mereka sedang membeli jajanan yang jaraknya hampir 100 meter dari rumah mereka, setidaknya itu masih dalam batas jarak aman dari longsor.
”Adik sama aku jajan ke luar (rumah) sambil menunggu Maghrib, tetapi tiba-tiba keburu datang longsor. Bapak ibu masih di rumah,” kenang Hengki dengan wajah muram.
Hengki tak pernah menyangka kejadian itu merenggut nyawa kedua orangtuanya. Kini, kedua bersaudara itu harus tinggal bersama neneknya. ”Aku kembali ke rumah, semua sudah tertutup tanah,” kata Hengki sambil mengelus-elus tangan Farrel yang sedang digendong nenek mereka.
Bencana longsor di kampung adat tersebut meninggalkan duka mendalam. Bencana seperti ini baru pertama kali terjadi di wilayah tersebut. Meski baru pertama, wilayah ini masuk dalam daerah rawan longsor yang diindikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Korban bencana menurut rencana akan direlokasi setelah evakuasi korban selesai.