JAKARTA, KOMPAS --Polisi belum menemukan penyebab kematian Bripka Arif Matheos Dehaan (53), anggota Samapta Bhayangkara (Sabhara) Polsek Pancoran Mas. Almarhum sebelum meninggal sempat mengirimkan pesan berisi permintaan maaf kepada temannya melalui ponselnya.
Bripka Arif Matheos Dehaan ditemukan oleh Syafii, penjaga Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mutiara, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Senin (31/12/2018) sekitar pukul 18.00 dalam keadaan masih hidup dengan kepala berdarah. Namun, Matheos meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Rabu (2/1/2019) mengatakan, polisi masih menunggu hasil labfor terkait dengan jenis senjata api, berapa peluru di dalam senjata, sehingga belum dapat menyimpulkan penyebab kematiannya. Polisi juga masih mendalami pesan permintaan maaf yang dikirimkan almarhum melalui ponselnya.
Berdasarkan pemeriksaan rekaman kamera CCTV diketahui korban mengendarai sepeda motor sendirian sejak dari rumah. Polisi telah memeriksa rekaman kamera CCTV di sekitar rumah korban maupun di lokasi penemuan mayat.
Menurut Argo, barang-barang milik korban di tempat kejadian perkara tidak ada yang hilang. Sepeda motor milik korban terparkir dengan rapi. Senjata api dinas milik korban ditemukan tidak jauh dari posisi korban.
“Senjata api (senpi) sudah keluar dari sarungnya, jadi sudah keluar dari tempatnya. (Senpi) ditemukan di atas rumput ada disekitar tubuh korban,” ujarnya.
Argo menambahkan, luka tembak di kepala korban adalah tembakan yang menempel ke tubuh. Sehingga seolah-olah tidak ada jarak antara senjata dengan kepala.
Menurut Argo, polisi telah meminta keterangan dari delapan saksi yaitu penjaga makam, polisi yang pertama kali menemukan korban, dan tetangga. Sedangkan pihak keluarga korban belum diperiksa mendalam karena masih berduka.
Pengamat kepolisian dari Universitas Borobudur, Komisaris Besar (Purn) Slamet Pribadi mengatakan, masyarakat sebaiknya bersabar menunggu proses penyelidikan dan penyidikan polisi.
“Kita tidak bisa menduga apakah bunuh diri atau dibunuh. Seandainya dibunuh, negara harus melindungi polisi karena polisi adalah penegak hukum. Semua tugasnya untuk kepentingan negara dan masyarakat. UU harus mengatur agar bisa melindungi penegak hukum yang sedang bertugas. Pelaku harus dihukum berat,” ujarnya.
Slamet mengatakan, seandainya korban meninggal karena bunuh diri hal itu bisa terjadi akibat beban tugas polisi yang sangat berat.
“Kadang (beban tugas) itu di luar kemampuan dirinya. Karena beban tugas berat itu maka dilakukan tes-tes psikologi,” katanya.
Menurut Slamet, tes psikologi merupakan kebutuhan mutlak saat penerimaan polisi maupun saat sudah bertugas. Dalam kepolisian ada tes untuk membawa senjata, ada tes untuk naik jenjang atau naik jabatan, ada tes untuk assessment, dan lain-lain. Tes psikologi menjadi bagian dari kebijakan kepolisian.