Berangkat dari keresahan terhadap lingkungan yang semakin penuh sampah, Hafrian Fajar (23) atau akrab dipanggil Jarwok bersama tiga temannya membentuk sebuah komunitas Trashbag Belitung. Komunitas yang dibentuk pada Juni 2018 itu digagas sejumlah pemuda Belitung.
Jarwok mengatakan, berkembangnya wisata di Belitung tidak diimbangi dengan pengolahan sampah dengan baik. Hal itu diperparah dengan sikap masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kebersihan lingkungan.
”Itu menjadi isu serius yang mendorong kami menggelar aksi peduli. Banyak orang tua tidak peduli dengan lingkungan. Mereka justru membuang sampah sembarangan. Makanya, terjadi pencemaran dari sampah yang menumpuk,” kata Ketua Komunitas Trashbag Belitung Jarwok yang merupakan alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Senin (31/12/2018).
Edukasi sampah
Meski terbuka bagi semua kalangan, komunitas Trashbag Belitung lebih menyasar anak muda dengan edukasi dan aksi peduli sampah. Edukasi dilakukan dalam forum yang membahas pengetahuan tentang sampah, mulai dari efek, jenis, penanganan jenis-jenis sampah, hingga nilai ekonomis.
Belitung tidak hanya semakin ramai dikunjungi wisatawan, tetapi juga pendatang yang menetap menjadi warga Belitung. Kepadatan tersebut berdampak terhadap membeludaknya sampah di sejumlah tempat. Hal tersebut sudah ia rasakan antara tahun 2014 dan 2015.
”Tanda yang paling dirasakan, sungai di Tanjung Pandan penuh dengan sampah dan Amau yang termasuk kota mulai banjir. Itu yang menjadi bahan diskusi kami,” kata Jarwok.
Walaupun baru terbentuk, komunitas tersebut mendapat penghargaan dari dinas pemuda dan olahraga (dispora) pada karnaval 17 Agustus 2018. Penghargaan tersebut didapatkan dari mengajak siswa SMP, SMA, bahkan yang putus sekolah untuk membersihkan sampah sepanjang jalan karnaval. Kemudian dari sampah itu dibuat sebuah karya.
Jarwok juga menceritakan, banyak kejadian menarik yang dialami saat awal-awal mereka melakukan aksi bersih-bersih sampah. Saat mereka memungut sampah, bahkan sampah di bawah kaki orang, telontar celetukan ”yang sampah disana diambil juga, tuh” sembari melempar sampahnya ke luar supaya biar kami yang ngambil. Atau ada juga yang dengan polosnya bertanya, ”dibayar berapa?”
Antara lucu dan prihatin mendapat perlakuan tersebut. Bukan karena dianggap sebagai tukang kebersihan dan disuruh-suruh, melainkan lebih pada kurangnya kesadaran masyarakat untuk bertanggung jawab menjaga kebersihan dan mengandalkan petugas kebersihan.
Berkaca dari pengalaman-pengalaman itu, muncul ide, yaitu memungut sampah sembari kampanye masalah lingkungan. Aksi tersebut dilakukan dengan 30 orang bergerak membersihkan sampah, sedangkan satu orang bicara menggunakan TOA memberi sosialisasi tentang bahaya sampah.
”Kami emang beraksi di tempat keramaian, termasuk saat acara Natal, Tahun Baru, atau acara peringatan Sumpah Pemuda. Kami bukan petugas sampah, melainkan kelompok yang memberi edukasi kepada masyarakat,” ujarnya.
Dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali komunitas ini akan mengunjungi tempat wisata dan membersihkan sampah yang ada. Rata-rata sampah yang dibersihkan sekali aksi bisa sebanyak 30-40 kantong sampah (trash bag) ukuran besar yang akan diangkut dalam mobil pikap.
Kemandirian dana
Jarwok menyadari kekurangan komunitasnya belum bisa sampai tahap daur ulang. Namun, baru-baru ini mereka mendapat tawaran kerja sama dari komunitas lain yang mengajak untuk daur ulang sampah.
Adapun, untuk membiayai segala keperluan yang dibutuhkan, mereka menjual topi yang berbentuk donasi. Harga topi sebenarnya Rp 25.000 akan dijual Rp 50.000. Setengah bagian tersebut akan masuk dalam uang kas. Selain itu, banyak sumbangan dari donatur yang menyumbangkan peralatan yang dibutuhkan.
”Efeknya orang semakin segan membuang sampah sembarangan, tahu bahwa kita aktivis lingkungan. Paling tidak, kami memengaruhi orang lain untuk berperilaku ramah lingkungan,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Jarwok, jauh lebih asik berlibur sambil membersihkan sampah adalah hal yang asik dibandingkan dengan liburan santai yang dilakukan orang kebanyakan.
”Kami menjadi sorotan bukan karena berpakaian bagus ataupun barang-barang yang dipakai bagus, melainkan karena aksi peduli lingkungan. Adanya rasa peka itu yang menjadi nilai positif untuk bisa ditularkan,” ucapnya.
Komunitas nonprofit tersebut terbuka bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan waktu senggangnya untuk ikut menjaga lingkungan. Ke depan, mereka akan lebih fokus tidak hanya membersihkan sampah, tetapi juga mendidik dan mengajak lebih banyak generasi muda untuk peduli lingkungan.