Mampukah PLN Mengalirkan Listrik ke Desa-desa Tersulit di Riau?
Oleh
Syahnan Rangkuti
·4 menit baca
Sebenarnya tidak banyak lagi desa di wilayah Provinsi Riau yang belum mendapat aliran listrik dari PLN. Sampai 31 Desember 2018, dari total 1.859 desa yang tersebar di 12 kabupaten dan kota di wilayah tengah Pulau Sumatera itu, sebanyak 1.761 desa sudah terang benderang. Artinya, tinggal 98 desa atau sekitar 4 persen lagi yang belum berlistrik PLN.
Belum berlistrik PLN bukan berarti desa-desa itu gelap gulita secara total di waktu malam. Sebagian besar desa sebenarnya sudah berlistrik bersumber dari mesin generator, baik kepemilikan pribadi, kelompok masyarakat, atau yang dikoordinasikan aparat desa. Biasanya ada sistem pembagian listrik dan biaya yang harus dikeluarkan warga agar rumahnya dapat terang di waktu malam.
Penggunaan mesin genset memang lebih mahal apabila dibandingkan dengan suplai listrik PLN. Misalnya, kebutuhan bahan bakar untuk mesin generator kapasitas 2 KVA atau sekitar 1.600 watt selama 12 jam per hari dapat mencapai Rp 75.000. Atau dalam sebulan mencapai Rp 2.250.000. Dengan arus listrik PLN, pemakaian daya yang sama dan teraliri selama 24 jam, biaya yang dikeluarkan hanya 25-30 persen. Itulah mengapa warga lebih memilih listrik PLN.
Sepanjang tahun 2018, PLN Wilayah Riau telah menyambung listrik ke 114 desa dari total 212 desa yang belum berlistrik. Target awalnya sebenarnya hanya 72 desa, tetapi kerja keras petugas lapangan ternyata membuat target terlampaui.
Pertanyaannya mengapa hanya 114 desa yang bisa dialiri dalam satu tahun? Apakah tidak bisa lebih banyak lagi?
Persoalan penyambungan aliran listrik ke desa-desa tersisa itu ternyata tidak mudah. General Manager PLN Unit Induk Riau dan Kepulauan Riau M Irwansyah Putra mengakui banyak tantangan yang harus dihadapi di lapangan.
Desa-desa terakhir yang belum teraliri listrik umumnya merupakan daerah terisolir yang tidak memiliki jalur transportasi memadai. Medan menuju desa-desa dimaksud tidak dapat dilewati kendaraan roda empat. Bahkan, tidak sedikit harus melewati jalan setapak serta melewati sungai yang belum memiliki jembatan.
Desa-desa terakhir yang belum teraliri listrik umumnya merupakan daerah terisolir yang tidak memiliki jalur transportasi memadai.
”Hampir semua sisa desa yang belum berlistrik terkendala pengiriman peralatan listrik karena harus melalui sungai atau anak sungai. Bahkan, untuk tiba di desa, petugas harus gotong royong dengan warga memikul tiang-tiang listrik serta material listrik utama. Hal ini disebabkan tidak tersedianya jalur transportasi untuk dilewati kendaraan pengangkut material distribusi utama,” tutur Irwansyah.
Apa yang disampaikan Irwansyah memang fakta lapangan. Belasan desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, adalah contohnya. Moda transportasi untuk mencapai desa-desa di sana hanya tersedia lewat alur Sungai Subayang atau Sungai Bio. Kendala semakin sulit karena seluruh desa berada di hulu sungai. Selain itu, lokasi desa seluruhnya berada di atas bukit di kaki sungai.
Karakteristik Subayang dan Bio adalah sungai dangkal, berbatu, dan berair deras. Kendaraan air yang dapat lewat hanya jenis perahu kecil yang disebut piyau. Karena dangkal dan berbatu, piyau hanya dapat mengangkut beban ringan karena harus melawan arus deras. Saat musim kemarau, air sungai tidak dapat dilewati perahu berpenumpang. Penumpang harus turun dan ikut mendorong perahu.
Kompas sudah dua kali berkunjung ke desa-desa di aliran Sungai Subayang. Desa-desa di sana memang terisolir. Membawa beban semen seberat 50 kilogram dari Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, ke desa-desa di dalam, seperti Desa Tanjung Beringin, misalnya, adalah pekerjaan yang sangat sulit dan penuh perjuangan.
Semen yang sudah sampai di tepi sungai di pinggir desa harus diangkut ke atas bukit dengan tenaga manusia. Alhasil harga semen plus transportasi dapat mencapai Rp 100.000 per zak. Bagaimana kalau mengangkut tiang listrik dan mesin yang berukuran besar? Jelas upaya itu harus disertai kegigihan dan tidak gampang menyerah.
Apakah PLN akan menyerah? Tentu tidak. Menurut Irwansyah, pada 2019, seluruh desa di Riau harus dapat dialiri listrik PLN. Itu adalah target yang mesti dicapai.
Target 100 persen
Dari sisa 98 desa yang belum dialiri listrik PLN itu, sebenarnya 31 di antaranya sudah dalam proses pengerjaan pada 2018, tetapi belum selesai. Pekerjaan itu akan dilanjutkan lagi mulai Januari ini.
”Hanya 67 desa lagi yang sama sekali belum dimulai proyeknya, termasuk 16 desa yang berada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Pada 2019 ini, semua desa itu akan dimulai pembangunannya. Kami berharap pada 2019 target 100 persen listrik desa di Riau dapat tercapai,” kata I Komang Sudarsana dari Humas PLN Area Pekanbaru.
Sampai awal Januari ini, empat dari 12 kabupaten dan kota se-Riau sudah 100 persen desanya dialiri listrik PLN. Satu di antaranya adalah Kota Pekanbaru yang sudah selesai 100 persen pada beberapa tahun lalu. Adapun tiga lainnya, yaitu Kuantan Singingi, Kota Dumai, dan Bengkalis, baru tercapai pada Desember 2018.
Seluruh desa di Kuantan Singingi, 100 persen teraliri listrik PLN pada 20 Desember 2018, disusul Dumai pada 22 Desember, dan Bengkalis pada 31 Desember 2018.
Menghidupkan listrik di 98 desa terakhir dengan faktor kesulitan tertinggi di Riau adalah tantangan terbesar PLN pada 2019. Apakah petugas PLN mampu bekerja sangat keras, gigih, tidak kenal lelah, dan tidak mudah menyerah melawan kerasnya kondisi alam dan manusianya? Kita akan lihat nanti.