Simbol-Simbol Diam Pengingat Kebinekaan
Aneka tugu atau monumen perdamaian, bahkan mural, tersebar di sejumlah daerah di Nusantara. Simbol-simbol diam dibangun sebagai pengingat pentingnya merajut dan menjaga toleransi. Inilah cerita simbol diam pengingat kebinekaan.
Kota Lasem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, terkenal dengan keragaman etnis dan agama. Mayoritas suku Jawa dan Tionghoa, serta penganut agama Kristen, Katolik, Islam, Budha, Hindu, dan Konghucu, hidup berdampingan, saling menjaga satu sama lain. Keberagaman itu sudah terbangun ratusan tahun lalu.
Keberagaman Lasem disimbolkan dalam Monumen Perjuangan Laskar Jawa dan Tionghoa di Kelenteng Gi Yong Bio, Babagan, Lasem. Monumen serupa juga ada di Taman Budaya Tionghoa di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Monumen yang mengisahkan perang kuning "Geel Oorlog" pada 1740-1743 itu menampilkan empat tokoh lintas etnis dan agama, pemimpin laskar Jawa dan Tionghoa. Keempat tokoh itu Panji Margono, Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie, dan Kiai Ali Badawi.
Mereka bersatu melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda. Kendati laskar Jawa dan Tionghoa di Lasem kalah dalam peperangan itu, semangat menjaga ikatan keberagaman itu lestari hingga kini.
Pada hari-hari besar keagamaan, masyarakat Lasem saling bersilaturahim. Pada hari-hari biasa, perjumpaan di pasar, para santri njagong minum kopi di pecinan, ronda bersama, salingmenjaga tempat ibadah, dan saling melayat jika ada warga yang meninggal dunia.
"Monumen Perjuangan Laskar Jawa dan Tionghoa di Lasem memang baru diresmikan pada 14 November 2015. Monumen itu dibangun dari refleksi sejarah dan keberagaman masyarakat Lasem hinggi kini. Monumen itu diharapkan bisa menjadi pengingat generasi selanjutnya terhadap spirit Lasem, yaitu saling menghargai keberagaman," kata pegiat Heritage Lasem Pop Baskara kepada Kompas, Jumat (21/12/2018).
Konflik jangan terulang
Di Kota Palu, Sulawesi Tengah, berdiri menara bertingkat empat. Warna putih mendominasi dengan aksen warna keemasan. Tiang setinggi 2,5 meter berdiri meruncing dengan ujung bak api menyala.
Di sebelah timur, ada gong besar berwarna keemasan menghadap Teluk Palu. Pada timbulan gong, tergambar pulau-pulau Nusantara. Pada permukaan datar terdekat timbulan, tercantum simbol agama-agama di Indonesia. Di luar lingkar simbol itu, tertulis 34 provinsi. Lingkaran luarnya lagi tercantum lambang-lambang kabupaten/kota di Tanah Air.
Itulah kompleks Gong Perdamaian Nusantara yang berada di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Kompleks yang kini menjadi obyek wisata memiliki dua ikon utama, yakni Menara Nosarara Nosabatutu dan Gong Perdamaian.
“Nosarara Nosabatutu” merupakan frasa bahasa Kaili. Bahasa itu digunakan masyarakat Kaili, suku yang awalnya mendiami Lembah Palu.
Pegiat literasi Sulteng Neni Muhidin megnatakan, "nosarara" berasal dari tiga kata, yakni "no", "sa", dan "rara". Dua kata pertama tak ada artinya selain sebagai penegas, sedangkan "rara" artinya hati.
"Batutu" berarti wadah atau tempat, semacam bingga dari anyaman bambu. Barang itu biasa dipakai saat pergi ke pasar. “Nosarara nosabatutu berarti satu hati, satu wadah. Itu metafora untuk persaudaraan dan persatuan,” ujar Neni.
Gong Perdamaian Nusantara didirikan pada 2014. Tujuannya adalah meneguhkan kebinekaan di bumi Celebes. Sulteng memiliki cerita kelam tentang robeknya anyaman persaudaraan dalam konflik sektarian di Kabupaten Poso pada 1999-2001. Dalam skala kecil, konflik-konflik antarkampung juga terjadi dalam satu dekade terakhir. Korban jiwa berjatuhan.
Kompleks Gong Perdamaian itu kini telah jadi salah satu ikon wisata di Palu dan sekitarnya. Di akhir pekan, banyak pengunjung menyambangi tempat tersebut.
"Tempat itu menjadi pengingat bagi semua tentang pentingnya persaudaraan dan perdamaian, kendati kita berbeda,” kata Wayan Darma (45), penjaga Gong Perdamaian Nusantara.
Dari Gong Perdamaian keberagaman bangsa ini didentangkan. Bunyi dentang melantunkan makna terdalam "Nosarara Nosabatutu" ke penjuru Celebes dan Nusantara.
Merpati
Simbol perdamaian juga ada di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Namanya Tugu Merpati, berbentuk telapak tangan terbuka yang menyambut kehadiran merpati, sebagai simbol perdamaian. Kupang dengan mayoritas penduduk beragama Kristen dan Katolik ini disebut sebagai Kota Kasih. Tugu Merpati merupakan karya mendiang Ngefak bersaudara, yakni Chris, Mola, dan Paul.
Budayawan NTT Felixianus Sanga mengatakan, Tugu Merpati menjadi penanda Perang Penfui yang meletus pada tahun 1700-an. Perang itu terjadi antara Portugis melawan Belanda dalam memperebutkan kekuasaan di Pulau Timor. "Penfui secara harafiah berarti terbang liar. Arti itu, terkait dengan serangan sporadis Belanda kepada Portugis di wilayah Penfui," ucap Felix.
Felix menyebutkan, Tugu Merpati bukan saja monumen penanda pecahnya perang di wilayah Penfui. Arti terbang liar dirupakan ke dalam bentuk burung. Bagi orang Timor, burung merupakan ekspresi kebebasan, kegembiraan, dan suka cita. Gerakan dan manuver burung, kemudian ditiru ke dalam bentuk gerakan-gerakan tarian daerah di Timor.
"Seiring waktu, burung merpati dimaknai sebagai tanda kasih. Makna itu sesuai dengan slogan Kota Kupang Kota Kasih," ujar Felix.
Penduduk Kota meyakini telapak tangan yang terbuka dan menopang seekor merpati sebagai simbol kasih. Masyarakat mewujudkan spirit kasih dan semangat toleransi itu melalui hal-hal sederhana.
Salah satunya bentuknya ada di meja makan. Secara sosial, telah mengakar kuat bahwa saudara yang berbeda keyakinan harus diikutsertakan, dilibatkan dalam berbagai acara atau perayaan baik kebahagiaan maupun kedukaan. Mereka akan dilibatkan untuk memotong hewan, seperti ayam, sapi maupun kambing.
"Dengan memotong hewan secara halal sesuai keyakinan, kita dapat duduk, dan makan bersama dalam rasa persaudaraan di satu meja," ujar Felix.
Muda-mudi yang menetap di Kota Kupang, memaknai Tugu Merpati sebagai lingkaran kasih. Slamet Tryono (26) , pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, telah menganggap Kota Kupang sebagai rumahnya. Ia lahir dan besar di kota itu.
"Tugu Merpati bukan hanya simbol perdamaian. Merpati melambangkan cinta kasih, kesetiakawanan dalam persaudaraan. Seperti di Kota Kupang dan NTT, kami hidup dalam kerukunan tanpa mempersoalkan perbedaan," ucap Slamet.
Seni patung atau rupa di kota-kota, tidak hanya sebagai penanda kota. Seni patung itu juga merupakan simbol diam yang menyampaikan beragam pesan sejarah, kehidupan, hingga spirit kota. Seni patung di daerah menjadi simbol pengingat toleransi dan kebinekaan. (FRANSISKUS WISNU)