Perlu Optimalisasi Koordinasi Anggaran Pendidikan
JAKARTA, KOMPAS - Sinkronisasi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, selama ini masih menjadi tantangan tersendiri. Selama ini, besar anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan, baik secara nasional maupun per wilayah.
Anggaran pendidikan untuk 2018 tetap merupakan alokasi 20 persen dari APBN dengan jumlah Rp 444,1 triliun. Sebanyak 63 persen dari anggaran pendidikan atau Rp 270,4 triliun, langsung dikirim ke pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Adapun yang berada di bawah kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya Rp 40,1 triliun dan mayoritas digunakan untuk Kartu Indonesia Pintar. Sementara sisanya dibagi kepada 19 kementerian/lembaga lain.
"Pemakaian DAU dan DAK sepenuhnya kewenangan pemerintah daerah. Kemendikbud dan kementerian lainnya tidak bisa ikut campur, meski mereka menilai pemakaian DAU dan DAK tidak efektif, atau tidak menghasilkan program kerja menyasar isu strategis di daerah," kata dosen pascasarjana Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia Roy Valiant Salomo di Jakarta, Sabtu (29/12/2018).
Ia menjelaskan, DAU diambil dari total pendapatan nasional yang lalu dibagi berdasarkan luas satu wilayah, jumlah populasi, dan kapasitas fiskalnya. Kabupaten/kota yang memiliki pendapatan tinggi, baik dari pajak maupun sunber daya alam, umumnya mendapat DAU lebih rendah daripada kabupaten miskin.
Mayoritas DAU, biasanya mencapai 75 persen, digunakan untuk menggaji pegawai negeri sipil (PNS) di daerah yang kebetulan paling banyak adalah guru. Setelah itu, sisanya digunakan untuk keperluan lain seperti infrastruktur. "DAU yang tersisa untuk peningkatan kapasitas PNS kecil sekali," tutur Roy.
Baru tiga provinsi
Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 49 mengamanahkan agar pemerintah daerah mengalokasikan 20 persen dari APBD, untuk pendidikan. Melalui Neraca Pendidikan Daerah, diketahui bahwa belum ada provinsi yang menunaikan kewajiban itu. Riau, DKI Jakarta, dan Sumatera Barat merupakan tiga provinsi dengan rata-rata alokasi pendidikan 18 persen dari APBD. Riau adalah yang tertinggi, yaitu 19,9 persen.
Permasalahannya, anggaran pendidikan daerah tidak menyentuh permasalahan strategis. Biasanya, anggaran lebih banyak untuk belanja tidak langsung. Hal itu terungkap dari penelitian Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Riau tahun 2018 yang menjelaskan, 11 persen dana pendidikan habis untuk kegiatan dinas pendidikan seperti rapat, perjalanan dinas, dan loka karya.
"Ini masalah besar di Indonesia. Mutu pembangunan sangat tergantung pada kepribadian dan pola pikir kepala daerah. Mayoritas menganggap pembangunan pendidikan sebatas membangun gedung sekolah dan menambah ruang kelas. Bukan meningkatkan mutu sumber daya manusianya, terutama guru," ujar Roy.
Pada Maret 2018, Bank Dunia mengeluarkan laporan berjudul "Growing Smarter: Learning and Equitable in East Asia and Pacific" mengenai pendidikan di Asia Tenggara. Laporan itu menjelaskan, anggaran pendidikan Indonesia memang menambah jumlah akses sekolah bagi anak-anak. Akan tetapi, mutu pendidikan yang diterima di sekolah tidak mengalami peningkatan.
Di level Asia Tenggara, skor PISA Indonesia hanya 403, di bawah Vietnam yang meraih skor 525. Adapun nilai rata-rata PISA adalah 422. Indonesia dengan jumlah pendapatan per kapita dua kali lipat dari Vietnam dan anggaran pendidikan yang besar digadang-gadangkan bisa mencapai skor 422 dan Vietnam hanya 394. Faktanya, malah Indonesia yang tertinggal.
Laporan itu mengungkapkan bahwa Vietnam memfokuskan anggaran pendidikan untuk membangun kompetensi guru. Dari segi sarana fisik, mereka hanya memenuhi fasilitas dasar dan menambah jumlah sekolah. Skema pelatihan guru diatur agar menyasar masalah pendidikan seperti pemahaman siswa akan konsep ilmu, memperbanyak praktikum, dan membangun kemampuan guru pembelajar.
Partisipasi masyarakat
Roy mengatakan, dinas pendidikan bisa mengintervensi dengan melibatkan masyarakat dalam merancang program. Payung hukumnya bisa dibuat oleh pemerintah pusat, misalnya mendorong pemerintah daerah membuay aturan pelibatan masyarakat dalam program kerja isu strategis pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
"Dalam hal ini, pendidikan demokrasi di masyarakat harus digalakkan. Selama ini, Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan hanya seputar sarana fisik dan proyek teknis jangka pendek. Belum ada yang benar-benar membangun sistem strategis. Isu strategis akhirnya diambil alih oleh birokrasi dan DPRD," ucap Roy.
Solusi lain adalah koordinasi Kementerian Keuangan dan Kemendikbud dalam mengalokasikan DAK kepada daerah, hanya untuk peningkatan kapasitas guru dengan standar materi pelatihan yang diatur pemerintah pusat. Adapun pemerintah daerah diberi kelenturan menyusun bentuk pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka berlandaskan standar itu.
Pakar pendidikan Doni Koesoema mengatakan, semestinya ada sistem, yang bisa diatur oleh Kementerian Keuangan ataupun Kementerian Dalam Negeri, untuk memastikan DAK digunakan untuk kepentingan pendidikan, dan bisa dievaluasi secara terukur. "Kedua kementerian juga harus memiliki persepsi pendidikan. Bukan hanya pendidikan di permukaan seperti bertambahnya jumlah sekolah dan gaji guru dibayar, melainkan ada pembangunan SDM yang terjadi," katanya.
Pada Kilas Balik Kinerja 2018 dan Program Kerja 2019 Kemendikbud pekan lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy mengungkapkan akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengadakan unit sinkronisasi anggaran. Unit ini akan berada di provinsi dan daerah di bawah dinas pendidikan. Mereka yang menghitung jumlah anggaran pendidikan dari DAU, DAK, APBD, dan Kemendikbud dan menyelaraskan penggunaannya agar tidak ada tumpang tindih.