Gugatan terhadap influencer atau orang yang berpengaruh muncul setelah survei lembaga bernama Savy marketing dipublikasikan oleh Radio BBC Inggris. Survei menyebutkan, 82 persen konsumen dari 1.000 yang disurvei mengatakan mereka tidak mengetahui apakah para influencer itu dibayar atau tidak oleh perusahaan untuk mempromosikan produk. Hasil ini membuat beberapa kalangan waspada karena anak-anak muda mudah sekali terpengaruh oleh promosi oleh para influencer.
Tak heran bila beberapa perusahaan mengakui, penggunaan influencer sangat menguntungkan. Mereka jadi kepanjangan tangan pemasaran. Produsen komestik menyebutkan banyak konsumen membeli karena rekomendasi para influencer. Namun, mereka juga mulai mewaspadai tindakan tidak terpuji influencer. Mereka mulai menemukan pelanggaran yang dilakukan seperti membayar untuk menambah pengikut palsu, membuat tanda suka dengan menggunakan mesin, dan cara-cara kotor lain.
Pemerintah dan lembaga konsumen di berbagai negara mulai mendalami masalah ini karena tidak ada otoritas yang mengawasi mereka. Sampai saat ini tidak ada artis atau mereka yang jadi influencer yang memberi tanda bahwa konten mereka promosi atau tidak.
Pemerintah di beberapa negara mulai membuat panduan agar mereka bisa memastikan produk itu dibeli sendiri dan digunakan untuk diri sendiri atau influencer menggunakan produk itu karena dibayar oleh perusahaan.
Di Indonesia, kepolisian tengah menyidik penjualan produk kosmetika palsu yang menggunakan beberapa orang berpengaruh di media sosial untuk promosi produk itu. Beberapa artis adalah mereka yang mempromosikan produk itu. Untuk seorang influencer dibayar Rp 7-15 juta per minggu. Kasus ini memperlihatkan dua hal. Pertama, pengaruh dari promosi para artis itu di media sosial masih kuat sehingga perusahaan mau membayar mahal. Kedua, kemungkinan ketidaktahuan artis mengenai produk serta panduan berpromosi di media sosial.
Beberapa kalangan mengingatkan bahwa relasi antara pengikut di media sosial dengan orang berpengaruh adalah kepercayaan dan otensitas sehingga keterbukaan jadi kepentingan semua pihak. Hubungan ini tak boleh diciderai oleh semua pihak hanya karena kepentingan promosi produk. Para influencer harus memastikan bahwa mereka tidak mengkhianati pengikutnya hanya demi uang. Para pengikut di media sosial memilih pertemanan dengan orang berpengaruh karena berbagai alasan seperti percaya, kedekatan, dan memiliki nilai-nilai yang unik. Mereka yang dipercaya itu tak bisa semena-mena mengingkari para pengikutnya.
Perusahaan teknologi berbasis media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter mulai bersih-bersih melihat fenomena itu. Mereka membersihkan akun palsu yang dipakai untuk menambah pengikut. Mereka membuat teknologi pendeteksi pemakaian fasilitas penambah pengikut serta menghapus perilaku-perilaku yang tidak otentik karena akan merugikan para pengikut.
Pemerintah Indonesia dan juga lembaga konsumen sepertinya perlu merapatkan barisan untuk mengantisipasi dampak buruk perilaku perusahaan dan orang berpengaruh di media sosial dalam mempromosikan produk. Banyak akun yang diketahui mempromosikan produk dan juga aktivitas yang kemungkinan ilegal, seperti produk palsu dan perjudian.
Hingga kini tindakan terhadap mereka masih sangat minim. Di sisi lain, orang berpengaruh itu sangat bebas karena tidak ada panduan dalam mempromosikan produk. Sebelum ada dampak buruk, semua pihak perlu mengawasi aktivitas para “influencer”.