Piala Dunia Klub 2018 menghadirkan antiklimaks, ketika Al Ain, klub Uni Emirat Arab, secara tak terduga melaju ke final menantang wakil Eropa, Real Madrid. Hasilnya? Sudah terprediksi “El Real” bakal juara dan itu pula faktanya. Tim asuhan Santiago Solari menang telak 4-1 atas Al Ain, dan menjuarai Piala Dunia Klub 2018, ibarat tanpa memeras keringat.
Lolosnya Al Ain, yang tampil di kejuaraan ini mewakili tuan rumah, amat mengejutkan. Di babak pertama Al Ain menyingkirkan wakil Oceania, Team Wellington FC, melalui adu penalti dengan skor 4-3, setelah skor sama kuat 3-3 hingga perpanjangan waktu usai. Langkah Al Ain mulus di babak kedua setelah menghempaskan wakil Afrika, Esperance Sportive de Tunis (Tunisia), dengan skor 3-0.
Laga berikutnya mempertemukan Al Ain dengan juara Copa Libertadores, River Plate (Argentina). Di atas kertas, River Plate yang empat kali meraih trofi Libertadores, tentu lebih diunggulkan. Maklum, sejak dasawarsa 1950-an, Amerika Selatan dikenal sebagai salah satu kiblat sepak bola dunia selain Eropa.
Namun, kenyataan berkata lain. Al Ain yang didukung puluhan ribu pendukungnya di Stadion Hazza Bin Zayed, kota Al Ain, mampu mengimbangi River Plate. Penguasaan bola River Plate hanya 57 persen. Artinya, tidak menunjukkan dominasi ball possession tim asuhan Marcelo Gallardo tersebut.
Al Ain juga menahan seri River Plate dengan skor 2-2 hingga perpanjangan waktu. Tim asuhan Mamic Zoran lantas menunjukkan kelasnya, bahwa mereka bukan kontestan anak bawang di Piala Dunia Klub 2018. River Plate yang digadang-gadang lolos ke final menantang Real Madrid, menghadirkan final ideal Eropa versus Amerika Latin, kalah adu penalti 4-5. Kiper Al Ain, Khalid Eisa, menjadi bintang dengan menggagalkan eksekusi penalti kelima River Plate oleh Enzo Perez.
Fenomena meredupnya pamor Amerika Selatan di level klub, mirip dengan kegagalan mereka mengimbangi tim nasional sejumlah negara kuat Eropa di Piala Dunia antarnegara
Kehadiran Al Ain di final menantang Real Madrid, ibarat David melawan Goliath. Al Ain klub Asia, benua kasta ketiga sepak bola, dan tidak tampil sebagai juara Liga Champions Asia. Sang kampiun Asia, Kashima Antlers (Jepang), gugur di semifinal di tangan Real Madrid. Benar saja, Sergio Ramos dan kawan-kawan mengemas kemenangan 4-1. Adapun River Plate harus puas di posisi ketiga, setelah unggul telak 4-0 atas Kashima Antlers.
Real Madrid, dengan demikian melanjutkan dominasi Eropa dalam Piala Dunia Klub. Terhitung sejak 2013, atau enam tahun terakhir, klub Eropa menjuarai perhelatan ini. Rinciannya, Bayern Muenchen pada 2013, diikuti Real Madrid pada 2014, lalu Barcelona tahun berikutnya, dan “El Real” menjadi kampiun pada tiga tahun terakhir.
Makin temaram
Sebaliknya, kegagalan River Plate melengkapi temaramnya kemasyuran tim-tim Amerika Selatan. Dalam perhelatan 10 tahun terakhir, hanya sekali klub Amerika Latin juara, yakni Corinthians (Brasil) pada 2012. Pada final kala itu, Corinthians menundukkan klub Eropa asal Inggris, Chelsea dengan skor 1-0. Selebihnya, sembilan penyelenggaraan lain dijuarai klub Eropa.
Fenomena meredupnya pamor Amerika Selatan di level klub, mirip dengan kegagalan mereka mengimbangi tim nasional sejumlah negara kuat Eropa di Piala Dunia antarnegara. Terakhir, Brasil menjuarai Piala Dunia Korea Selatan-Jepang 2002, melalui trio bintang mereka, Ronaldo-Rivaldo-Ronaldinho.
Setelah itu, perhelatan Piala Dunia Jerman 2006, Afrika Selatan 2010, Brasil 2014 dan Rusia 2018, dimenangi tim-tim Eropa. Italia berjaya di Jerman 2006, Spanyol di Afrika Selatan 2010, kemudian Perancis di Rusia 2018. Yang lebih menyakitkan, hanya di Brasil 2014, tim Amerika Latin bisa melaju hingga final, yakni Argentina. Namun, pada laga puncak, tim “Tango” harus mengakui ketangguhan Jerman.
Kemunduran kualitas sepak bola Amerika Selatan, berbanding lurus dengan kegagalan klub-klub setempat mereformasi manajemennya. Dalam buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola karya Franklin Foer, disebutkan, “Modal asing tidak membuat sepak bola Brasil menjadi sepak bola dunia ala NBA, atau membersihkannya dari praktik korupsi.”
Padahal, masih seperti tertulis di buku itu, “Brasil menjadi jagoan internasional sebab mereka berlaga tanpa aturan strategis yang kaku ala Eropa. Penempatan posisi, formasi, dan pertahanan, tidak begitu penting ketimbang spontanitas, kecerdikan, dan mencetak gol. Mengutip rumusan sutradara film Italia Pier Paolo Pasolini: gaya Eropa itu prosa, sementara Brasil itu untaian puisi”.
Brasil menjadi jagoan internasional sebab mereka berlaga tanpa aturan strategis yang kaku ala Eropa. Penempatan posisi, formasi, dan pertahanan, tidak begitu penting ketimbang spontanitas, kecerdikan, dan mencetak gol
Gemerlap prestasi klub-klub Amerika Latin, yang dulu tecermin dalam gelaran Piala Interkontinental, ajang pertemuan juara Copa Libertadores dan Liga Champions sejak 1960, hanya menjadi monumen kebanggaan yang sulit diulang. Pamor klub-klub Brasil seperti Santos, Flamengo, Gremio; atau klub Argentina semacam Independiente, Estudiantes dan Boca Juniors, ibarat lenyap tersapu angin.
Ketika sepak bola Eropa sudah dominan dengan penggunaan ilmu pengetahuan olahraga (sport science), sepak bola Amerika Selatan masih berkubang dengan dugaan perilaku koruptif pengelola klub mereka. Tanpa perubahan mendasar pengelolaan klub-klub mereka, sepak bola Amerika Selatan bakal makin jauh tertinggal dari tim-tim Eropa. Jika ini terjadi, Eropa akan menjadi raja diraja sepak bola dunia, tanpa pesaing berarti.