Jarak Aman Jadi 500 Meter dari Pantai, Pengungsi Bisa Kembali
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terkait dengan penurunan aktivitas Gunung Anak Krakatau, jarak aman dari bibir pantai di Selat Sunda telah diturunkan menjadi 500 meter. Dengan begitu, sebagian besar pengungsi bisa diarahkan kembali ke hunian mereka.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, jarak radius aman kini telah diturunkan menjadi 500 meter dari bibir pantai. Hal ini sesuai dengan kehendak sebagian besar pengungsi untuk bisa kembali ke hunian mereka masing-masing.
”Lebih dari separuh pengungsi di Pandeglang bukan karena rumah mereka rusak, melainkan karena trauma,” ujar Sutopo dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (31/12/2018) siang.
Oleh karena itu, terhitung Senin pukul 15.00, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melalui keterangan tertulisnya menyatakan bahwa jarak aman dari bibir pantai diturunkan dari 1 kilometer menjadi 500 meter.
Hal itu merujuk pada surat nomor 4668/45/BGL/2018 dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang menyatakan penurunan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.
Sutopo menambahkan, sejak Jumat (28/12/2018), rekaman seismograf menunjukkan adanya penurunan aktivitas Gunung Anak Krakatau. Meski begitu, PVMBG masih akan terus memantau aktivitasnya. Adapun berdasarkan pantauan satelit Himawari, sebaran abu vulkanik juga tidak terdeteksi.
”Ada kalanya aktivitas gunung itu berhenti sesaat untuk mengumpulkan energi. Semua itu masih dipantau secara intensif,” ujarnya.
Jumlah korban meninggal akibat tsunami Selat Sunda hingga Senin siang mencapai 437 orang. Adapun jumlah korban luka-luka 14.059 orang dan 33.721 orang mengungsi. Selain itu, 2.752 rumah dan 92 penginapan serta warung rusak. Adapun 510 kapal dan perahu juga rusak.
”Data ini adalah sementara. Jumlah korban dan kerusakan materiil kemungkinan masih akan terus bertambah,” ujar Sutopo.
Dalam waktu dekat, pengungsi yang rumahnya mengalami rusak berat di Kabupaten Pandeglang akan dibangunkan hunian sementara (huntara). Terlebih, pengungsi tersebut saat ini menempati area sekolah yang pada 7 Januari 2019 sudah akan digunakan kembali untuk kegiatan belajar-mengajar.
”Sebanyak lebih dari 600 huntara akan segera dibangun. Ada 11 lokasi yang telah disurvei dan layak. Jaraknya pun aman, yaitu lebih dari 1 kilometer dari bibir pantai,” ujar Sutopo.
Ancaman cuaca buruk
Dalam kesempatan tersebut, Sutopo juga mengimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai ancaman cuaca buruk saat menikmati malam pergantian tahun. Seperti diketahui, BMKG sebelumnya telah memberikan peringatan dini terkait ancaman gelombang tinggi, angin kencang, dan hujan lebat.
Sutopo mengatakan, beberapa tanda bencana hidrometeorologi bisa dikenali oleh masyarakat. Salah satunya puting beliung, yang juga melanda Cirebon pada Minggu (30/12/2018) sore. ”Jika melihat ada pusaran disertai embusan angin kencang, masyarakat bisa langsung berlindung ke bangunan yang kokoh. Jangan berada di luar rumah,” katanya.
Kepala Subbidang Iklim dan Cuaca BMKG Agie Wandala Putra mengatakan, ada beberapa tanda munculnya puting beliung yang bisa diidentifikasi secara visual ataupun fisik, antara lain sebelum terjadi puting beliung, malam sebelumnya suhu udara akan terasa gerah.
Kemudian, pada pagi hari biasanya radiasi matahari akan sangat intensif sehingga suhu udara permukaan akan sangat tinggi. Kita akan merasakan kondisi yang cukup terik.
”Terjadi perbedaan suhu dari pagi dan siang yang cukup signifikan. Terkadang, sebelum terjadi puting beliung, kulit kita juga akan merasakan udara dingin,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin siang.
Tanda lain juga bisa diidentifikasi dari munculnya pertumbuhan awan putih yang berbentuk menyerupai kembang kol menjelang siang atau sore hari. Selain itu, dari awan juga bisa muncul semacam belalai gajah atau angin yang membentuk pusaran.
”Biasanya puting beliung terjadi pada siang atau sore hari karena butuh radiasi untuk menghimpun tenaga terlebih dulu,” kata Agie.
Saat terjadi puting beliung, kecepatan angin di sekitarnya bisa mencapai lebih dari 50 kilometer per jam. Namun, jika tidak terjadi pusaran tetapi angin tetap kencang, kita sebut sebagai fenomena mircroburst atau empasan angin dari lapisan atas yang menuju ke permukaan. (FAJAR RAMADHAN)