Beberapa waktu lalu, mass rapid transit (MRT) Singapura hadir dengan tempat duduk yang bisa dilipat. Kehadiran kursi yang bisa dilipat itu untuk memaksimalkan ruang di gerbong MRT. Desain itu memungkinkan lebih banyak orang berdiri terangkut MRT, sebab kursi-kursi itu akan dilipat saat jam-jam sibuk pagi dan sore hari. Kemudian, kembali difungsikan kembali saat jam lowong untuk meningkatkan kapasitas tempat duduk.
Kalau pun ada bangku, diprioritaskan bagi penumpang sepuh, tuna daksa atau ibu hamil. Seperti juga di commuter line (CL) Jabodetabek, foto penumpang “kurang ajar” yang tidak memberikan tempat duduk kepada mereka yang lebih membutuhkan sering viral di media sosial.
MRT Singapura yang berumur lebih dari 31 tahun menjadikan sistem transportasi publik di Negeri Singa itu lebih maju dibandingkan negara-negara tetangga. Jakarta (baca: Indonesia) baru akan menikmati sistem angkutan massal itu yang ditandai dengan rencana operasional LRT atau MRT di sejumlah ruas.
Tidak adanya kemauan politik, kuatnya cengkeraman industri otomotif hingga mental korup menyebabkan Jakarta jauh tertinggal.
Di masa Orde Baru, pejabat bidang transportasi umum biasa “ngeles” jika ditanya mengapa di Jakarta tidak dibangun angkutan massal seperti di Singapura. “Jangan bandingkan kita dengan negeri kecil itu. Selain penduduknya jauh lebih sedikit, tanah di Jakarta juga tidak memungkinkan dibangun jalur MRT di bawah tanah,” ujarnya.
Sejarah membuktikan, kini CL menjadi pilihan favorit bagi warga. Namun sepertinya tidak mudah mewujudkan sistem transportasi terintegrasi. Di sekitar stasiun, warga tidak hanya makin sulit memarkir kendaraan, kawasan sekitar itu menjadi semakin semrawut.
Pengelola CL dan pemerintah daerah belum banyak berbuat untuk menata persoalan ini. Pada akhirnya persoalan kenyamanan dan kebersihan sekitar stasiun yang memprihatinkan menjadi hal biasa.
Di saat musim hujan, pengguna CL kerap deg-degan, pasrah, karena gangguan sinyal bisa mengganggu perjalanan mereka. Waktu tempuh perjalanan penumpang semakin panjang. Selain butuh kesabaran menunggu, juga dibutuhkan ketangguhan mental saat berebut ruang.
Alih-alih menyempurnakan layanan, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) dikabarkan akan meluncurkan Kereta Rel Listrik (KRL) Premium pertengahan 2019. KRL Premium akan menjaring penumpang dengan tarif lebih mahal dari tarif biasa dan akan mendapat prioritas perjalanan.
Sepertinya rencana itu dibuat untuk membedakan "kelas penumpang". Sebab selama ini ada kesan “ketidakadilan” di dalam penyelenggaraan KRL. Dengan tiket sangat murah – dari stasiun Rawa Buntu ke Palmerah misalnya, penumpang cukup bayar tiga ribu perak saja ! Ada subsidi ke penumpang yang memarkir SUV mewah di parkiran stasiun dengan tarif Rp 15.000 seharian. Bandingkan dengan parkir di mal Rp 4-5 ribu per jam.
Menghadirkan KRL premium dengan pola mengambil jadwal KRL biasa sepertinya bukan langkah terbaik. Lha, si Babaranjang (kereta “batu bara rangkaian panjang”) lewat menyela perjalanan kereta penumpang aja kita enggak habis pikir. Kenapa Si Babaranjang itu enggak jalan selepas tengah malam!