Salah satu kesan menonjol dari sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah citra dirinya sebagai tokoh anti-kekerasan dan selalu mengedepankan dialog dalam mencari solusi atas berbagai masalah sosial dan politik. Gus Dur selalu berada di posisi paling depan dalam membela para korban kekerasan, tak pernah ragu untuk hal itu, pun jika harus mengorbankan citra dirinya sebagai tokoh besar.
Sosok pengagum Mahatma Gandhi ini menjadi sandaran bagi mereka yang terpinggirkan atau mengalami diskriminasi. Dalam melakukan pembelaan, Gus Dur tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, atau posisi sosial.
Sikap anti-kekerasan dan menghargai pluralisme dalam kehidupan bersama itu tecermin dalam buku kumpulan tulisan esai Gus Dur yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (The Wahid Institute, 2006).
Judul buku ini diambil dari salah satu artikel yang ditulis Gus Dur, dari 93 tulisan yang terhimpun, yang dianggap menggambarkan pengembaraan intelektual Gus Dur dari masa ke masa, dan mewarnai sikapnya atas banyak masalah hidup bersama.
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur, menurut Dr M Syafi’i Anwar dalam pengantar buku, adalah penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Gus Dur berpandangan bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan untuk berkembang secara kultural.
Ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan ”negerinya kaum Muslim moderat”, yang tumbuh dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologi. (YKR/LITBANG KOMPAS)
Karena Perbedaan adalah Rahmat
”Saya ingin di kuburan saya ada tulisan: di sinilah dikubur seorang pluralis”. Demikian pesan KH Abdurrahman Wahid, atau yang kerap disapa Gus Dur, sebelum ia berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Gelar pluralis yang disematkan kepada Gus Dur rasanya bukan hal yang berlebihan. Berbagai lapisan masyarakat merasakan betul perjuangan Gus Dur mengayomi kebinekaan bangsa.
Bagi Gus Dur, keberagaman adalah karunia yang telah digariskan Allah. Ia percaya, perbedaan adalah rahmat yang membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecahnya.
Perjuangan mengusung nilai-nilai pluralisme yang dilakukan Gus Dur tak pernah mudah. Derap langkahnya dalam memperjuangkan hak-hak kaum marjinal dan minoritas, misalnya, kerap menemui pandangan-pandangan sinis hingga penolakan.
Meskipun demikian, sebagai seorang Muslim, ia tak pernah lelah menyuarakan Islam yang rahmatan lil alamin. Gus Dur menunjukkan cara ber-Islam yang otentik, yaitu beragama yang menimbulkan rasa aman, bukan rasa takut, bahkan menjadi energi yang menerangi orang-orang di sekitarnya.
Kerinduan akan nilai-nilai pluralisme, kemanusiaan, dan perdamaian yang kukuh dipegang Gus Dur tersebut termaktub dalam buku Damai Bersama Gus Dur (Penerbit Buku Kompas, 2010).
Kumpulan tulisan dalam buku ini memiliki benang merah yang sama: rasa hampa atas kepulangan Gus Dur, sekaligus kekaguman atas sosok dan pemikirannya yang akan selalu relevan dalam perjalanan bangsa ini.
Buku ini juga menyiratkan pesan bagi kita untuk tidak larut dalam duka, tetapi untuk melanjutkan fondasi perjuangan yang telah dilakukan Gus Dur sepanjang hidupnya. (AEP/Litbang Kompas)