JAKARTA, KOMPAS — Perasaan tidak aman di masyarakat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap sesama yang akhirnya melahirkan perilaku ultra konservatif, bahkan ekstrem dalam beragama. Harus ada pendekatan yang melihat persepsi budaya Indonesia terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi agar bisa menumbuhkan sikap keagamaan yang moderat dan toleran.
Permasalahan itu menjadi pemantik dalam dialog lintas iman "Kehidupan Beragama di Indonesia: Refleksi dan Proyeksi" yang diadakan oleh Kementerian Agama di Jakarta, Jumat (28/12/2018). Hadir sebagai peserta diskusi para tokoh agama, akademisi, budayawan, aktivis, dan anak-anak muda pembuat konten di media sosial.
Menteri Agama Lukman Hakin Saifuddin memaparkan, dialog ini bertujuan memberi masukan kepada Kemenag mengenai isu-isu penting di masyarakat. Analisa Kemenag bersifat parsial. Melalui masukan dari para tokoh ini akan memberi persepsi yang lebih menyeluruh sehingga pemerintah bisa menjadikannya landasan pembuatan program kerja 2019.
Cendekiawan muslim Haidar Bagir mengemukakan, pentingnya mengembalikan agama kembali sebagai panduan spiritual dan moral. Bebaskan agama dari penyanderaan politik dan hukum positif. Ultra konservatisme menunjukkan masyarakat yang tengah mencari pegangan yang stabil dan memberi rasa aman di era disrupsi yang penuh ketidakpastian.
"Agama sumber moral dalam artian etika hidup bermasyarakat. Dalam hal ini, kepercayaan masyarakat Indonesia dalam hal spiritual harus diperkuat. Masyarakat pada intinya mencari ketenangan melalui agama," ujarnya.
Sementara itu, Romo Frans Magnis-Suseno menerangkan, disrupsi juga merupakan panggilan bagi para tokoh agama untuk berpikiran terbuka menghadapi pertanyaan dan kritik dari masyarakat. Kemampuan mereka berkomunikasi dengan masyarakat tidak dalam forum keagamaan formal ini akan membantu penyebaran pemahaman agama dan spiritualitas.
Cemas
Rasa tidak aman bisa ditimbulkan oleh tekanan pada sektor ekonomi, politik, sosial, hingga jabatan struktural seseorang. "Faktor ini yang memunculkan kembali konflik identitas agama," kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Komaruddin Hidayat.
Ia menjelaskan, pada masa Orde Baru, kaum agamawan dan intelektual yang bertindak sebagai pemikir kritis berada di luar pemerintahan. Setelah Reformasi, kelompok ini justru bergabung dengan pemerintah ataupun partai politik sehingga masyarakat kekurangan narasumber yang netral dalam membahas dinamika perilaku keagamaan dan berbangsa.
"Kekosongan ini diisi oleh kelompok ultra konservatif, bahkan ekstrem dengan menghadirkan diri sebagai penjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari," tutur Komaruddin.
Pendekatan yang diambil, lanjut Komaruddin, bersifat emosional sehingga cepat mendapat simpati publik. Permasalahannya, kalangan intelektual maupun agamawan umumnya memilih pendekatan yang logis dan terstruktur. Cara ini tidak akrab bagi masyarakat karena membutuhkan kemampuan berpikir analitis.
"Budaya beragama di Nusantara sangat emosional dengan mental kerumunan yang kuat. Misalnya, perilaku keagamaan menjadi tren akibat masuk ke ranah politik, mode, dan gaya hidup," ucapnya.
Masyarakat Indonesia memiliki tabiat menyenangi segala sesuatu yang instan, termasuk dalam memahami agama dan perilaku keagamaan. Menurut Komaruddin, seolah ada pemikiran kehidupan yang berat membuat orang malas berpikir terkait pemahaman keagamaan karena menginginkan agama bisa memberi jawaban dan pelipur lara.
Mengetahui fakta tersebut, semestinya golongan moderat kini bisa menggunakan pendekatan yang lebih ramah kepada masyarakat. Dalam hal ini, menggunakan bahasa yang lebih mudah dicerna oleh awam dalam mengadvokasikan nilai-nilai keagamaan yang moderat dan bermuatan kebangsaan.
Budaya
Pakar kebangsaan Yudi Latief mengemukakan, ultra konservatisme keagamaan merupakan masalah budaya. "Minimnya literasi adalah aspek buruk budaya Indonesia. Bangsa Indonesia minat membacanya terendah di dunia, tetapi paling gemar memakai media sosial," tuturnya.
Selain itu, juga ada kemalasan membuat ruang pertemuan bagi kelompok yang berbeda-beda. Masyarakat hidup berdampingan, tetapi tidak berinteraksi. Bahkan, sekolah dan kompleks permukiman kini makin tersegregasi.
Pendapat tersebut disetujui oleh perwakilan Jaringan Gusdurian Kalis Mardiasih.
Ia menjabarkan, agenda ultra konservatisme dan ekstremisme menggunakan pendekatan peminiman literasi di masyarakat. "Tujuannya adalah untuk menghilangkan kemampuan berpikir kritis agar mudah diarahkan untuk kepentingan politik dan melanggengkan relasi kuasa yang hierarkis," katanya merefleksi pengalaman menjadi bagian dari kelompok ultra konservatif.
Batas
Perilaku keagamaan yang ultta konservatif juga dinilai mengaburkan hukum. Hal ini dikemukakan oleh Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Ia mencontohkan, fatwa ulama kerap merasuki hukum positif.
"Contohnya adalah kasus Meliana di Sumatera Utara. Awalnya, polisi tidak menganggap kasus ini sebagai pidana. Namun, setelah ada fatwa tentang penodaan agama, ia didakwa. Harus ada ketegasan aturan mengenai hukum yang dipakai agar tidak ada camour aduk dan bias populis," ucapnya.
Kejelasan batas juga dinilai sebagai kebutuhan oleh para pembuat konten di media sosial. Coki Pardede dan Muslim dari Majelis Lucu Indonesia menjelaskan, para pembuat konten dilanda kecemasan terkait konten yang dihasilkan bisa dengan mudah dituduh menghina ajara agama tertentu oleh golongan ultra konservatif.
"Pemerintah mungkin bisa mengeluarkan rambu-rambu mengenai aspek-aspek yang tidak boleh dikritisi ketika membahas tentang perilaku beragama. Kecemasan akan persekusi oleh kelompok ultra konservatif ini yang membuat anak-anak muda moderat enggan berekspresi di media sosial untuk membuat narasi toleransi," tutur Coki.