Ketika Harapan Papua Penuh Damai Sebatas Slogan
“Betapa Indahnya, bila semua di dunia, bisa saling menyayangi, dan saling mencintai.”
Demikian harapan grup band pop Dmasiv dalam salah satu lirik dari lagu ciptaannya yang berjudul Bersama Dalam Cinta. Harapan yang sama dari masyarakat Papua agar berakhirnya konflik di tanah kelahirannya yang belum berakhir selama empat dekade terakhir.
Enam anggota polisi dengan perlahan-lahan menurun peti berwarna putih yang berisi jenazah Brigadir Kepala Anumerta Sinton Kbarek ke dalam liang lahat pada 3 Juli 2018 lalu sekitar pukul 10.00 WIT. Petronela Rumaropen dengan berlinang air mata merelakan kepergian suaminya dan ayah dari enam anak untuk selama-lamanya.
Sinton, termasuk salah satu dari dua anggota Polisi bersama Kepala Distrik Torere Obaja Fruaro yang meninggal dunia karena ditembak kelompok kriminal bersenjata saat melintas di Sungai Mamberamo, Kabupaten Mamberamo Raya, pada 27 Juni 2018.
Insiden di Sungai Mamberamo termasuk salah satu rangkaian dari 26 kasus penyerangan yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) sepanjang tahun 2018. Kelompok yang selalu mengatasnamakan perjuangan untuk referendum Papua lebih dominan menebar teror di kawasan pegunungan tengah Papua.
Jumlah aksi teror KKB tahun ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2017 sebanyak 25 kasus. Perbuatan kelompok ini menyebabkan menyebabkan korban tewas sebanyak 22 warga sipil serta 7 aparat keamanan dari TNI dan Polri. Sementara korban luka dari warga sipil sebanyak 7 orang dan aparat keamanan sebanyak 7 orang.
Terakhir, insiden penyerangan 28 pekerja PT Istaka Karya di Puncak Bukit Kabo, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, pada 2 Desember 2018. Total sebanyak 17 orang meninggal, 7 orang selamat dan 4 orang belum ditemukan tim gabungan TNI dan Polri hingga saat ini. Pihak keluarga masih menantikan kepastian nasib para korban yang belum ditemukan.
Para pimpinan kelompok ini meliputi Egianus Kogoya di Kabupaten Nduga, Goliath Tabuni di area Puncak Jaya, Militer Murib beserta Lekagak Telenggen di Kabupaten Puncak dan Purom Okiman Wenda di Lanny Jaya. Mantan Kapolda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw menjuluki kawasan pegunungan tengah yang rawan aksi KBB sebagai segitiga hitam.
Kelompok-kelompok ini menghadapi aparat keamanan dengan cara bergerilya di hutan dengan memanfaatkan kemampuan bertahan hidup di kondisi geografis Papua yang sulit dan cuaca dingin yang ekstrem di bawah 10 derajat Celcius. Mereka biasa menyergap korban dalam serangan secara tiba-tiba. Setelah itu, mereka merampas barang milik korban khususnya aparat TNI dan Polri seperti amunisi dan senjata.
“Kami sudah berupaya maksimal dalam upaya pengejaran pimpinan KKB beserta anggotanya. Namun, mereka benar-benar menguasai medan yang begitu sulit di kawasan pegunungan yang mencapai 10.000 kaki atau sekitar 3.000 meter. Diperlukan tindakan yang penuh kehati-hatian agar tidak menyebabkan anggota kami menjadi korban,” ungkap Kapolda Papua Inspektur Jenderal Martuani Sormin.
Dari catatan Kompas dan informasi dari Kepolisian Daerah Papua, total sebanyak 129 korban tewas akibat ditembak KKB dalam rentang tahun 2008 hingga 2018 di Papua. 129 ini terdiri dari 30 anggota polisi dan 99 warga sipil dari berbagai kalangan baik seperti pegawai negeri sipil, guru dan tukang ojek sepeda motor.
Sementara korban luka tembak mencapai 180 orang, yang terdiri dari, 60 anggota polisi dan 120 warga sipil dari berbagai kalangan. Misalnya pilot pesawat Trigana Air Kapten Ahmad Kamil yang ditembak kelompok Egianus saat mendarat di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga pada 25 Juni 2018. Ahmad yang bertugas mengantar logistik pemilihan Gubernur Papua ini terkena tembakan di punggung bagian kiri.
Juru bicara Organisasi Papua Merdeka Sebby Sambom menegaskan, pihaknya tak akan berhenti menyerang aparat keamanan dan warga sipil yang diduga menjadi mata-mata dari aparat TNI dan Polri hingga Papua meraih kemerdekaan. "Kami tidak sembarang dalam menyerang warga sipil. Hanya warga sipil yang dinilai sebagai intelejen dari aparat keamanan yang ditembak," tegas Sebby.
Polda Papua akan membentuk sebuah pasukan setingkat kompi yang khusus untuk menangani KKB pada tahun 2019. Pasukan ini terseleksi melalui sejumlah tes, yakni kemampuan intelejen, daya tahan tubuh yang prima di tengah kondisi geografis sulit dan cuaca ekstrem serta kondisi mental yang teruji dalam menghadapi tekanan.
“Pasukan yang berjumlah sekitar 100 personil ini akan ditempatkan di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Tugas mereka untuk membantu seluruh polres di wilayah pegunungan yang rawan aksi KKB,” papar Martuani.
Konflik sosial
Konflik di Papua tak hanya melibatkan antara aparat keamanan dan KKB namun juga antar kelompok masyarakat. Total sebanyak 35 kasus konflik sosial yang terjadi di Papua tahun ini. Angka ini menurun hingga 39 persen bila dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 58 kasus.
Meskipun mengalami penurunan jumlah kasus namun juga korban jiwa akibat konflik sosial di Papua masih cukup tinggi. dari Kepolisian Daerah Papua, sejak Juli hingga November 2018, sebanyak 23 warga tewas dan 86 warga luka-luka akibat konflik tersebut. Puluhan rumah, toko, mobil dan motor turut dibakar massa yang bertikai.
Konflik sosial antar warga terjadi di lima kabupaten, yakni Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Yahukimo dan Tolikara. Terakhir konflik di Distrik Bokondini, Tolikara yang menewaskan tiga orang dan enam warga luka-luka pada 17 November 2018.
35 konflik sosial di Papua sepanjang tahun ini dipicu sejumlah faktor yakni pergantian kepala suku, adanya sikap pro dan kontra untuk memberhentikan kepada daerah, reaksi atas upaya penegakan hukum dan perzinahan.
Pelaksana tugas Kepala Sekretraiat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey berpendapat, dari pantauan pihaknya, solidaritas yang terbentuk di tengah masyarakat hanya berdasarkan faktor adanya kesamaan suku bukanlah solidaritas antara sesama warga negara. "Meningkatnya konflik sosial di Papua karena faktor pertikaian semasa Pilkada yang belum tuntas, kecemburuan sosial dan persoalan ekonomi," kata Frits.
Solusi efektif
Frits mengatakan, terdapat sejumlah solusi yang efektif untuk menghentikan aksi kekerasan di Papua. Solusi tersebut adalah upaya penegakan hukum yang tegas terhadap KKB namun secara terukur dan mengantipasi jatuh korban dari kalangan warga sipil. Solusi terakhir adalah pendekatan dengan ekonomi, sosial dan budaya.
“Tak ada cara lain untuk menghadapi kelompok itu selain penegakan hukum. Sebab, perbuatan KKB yang menggunakan cara kekerasan sehingga jatuh korban baik dari warga sipil dan aparat keamanan harus dihentikan,” tutur Frits.
Ia pun menilai upaya meredam konflik dengan pendekatan ekonomi sosial, budaya dan budaya agar memahami sebenarnya keinginan masyarakat Papua baik sisi kesejahteraan, pemenuhan layanan pendidikan dan kesehatan, partisipasi dalam kegiatan pembangunan serta pengakuan akan hak ulayat.
Diketahui Pemprov Papua mendapat alokasi dana otonomi khusus dari pemerintah pusat selama sejak tahun 2001 hingga saat ini mencapai Rp 68,9 triliun. Namun hingga tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua masih menempati peringkat 34 dengan poin 59, 09. Angka ini berada di bawah standar nasional yakni 70,81. Faktor pembentuk IPM adalah umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan hidup layak.
Masalah kesehatan seperti gizi buruk dan minimnya layanan imunisasi masih terjadi di Papua. Misalnya kasus campak disertai gizi buruk di Asmat yang menewaskan sebanyak 72 anak balita. Total terdapat 646 anak terkena campak dan 144 anak menderita gizi buruk di 19 distrik.
Sementara di sektor pendidikan, seperti pogram wajib belajar 12 tahun di Provinsi Papua belum berjalan optimal. Rata-rata lama sekolah baru mencapai tujuh tahun, yakni dari tingkat SD kelas I hingga kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Angka putus sekolah dari SD hingga SMP paling banyak berada di 15 kabupaten di pegunungan tengah Papua. Misalnya Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak dan Puncak Jaya.
Ia pun berharap Pemda setempat, tokoh agama dan tokoh masyarakat bisa menyiapkan solusi untuk mencegah jatuh korban di Papua akibat konflik sosial. "Pencegahan konflik di Papua bukan hanya tanggung jawab aparat kepolisian namun perlu ada kontribusi dari Pemda dan seluruh pihak yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat, " tambahnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Laduani Ladamay menyatakan dengan tak akan konflik di Papua apabila warga memiliki kondisi ekonomi yang stabil. Fakta yang terjadi, selama 17 tahun terakhi sektor ekonomi kerakyatan di Papua selama 17 tahun ini belum berjalan baik.
Pertumbuhan ekonomi Papua pada triwulan ketiga tahun ini mencapai 6,76 persen. Namun, 40 persen dari pertumbuhan ekonomi tersebut dari sektor usaha pertambangan yang didominasi PT Freeport Indonesia. Sektor ekonomi kerakyatan seperti pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan belum mencapai 5 persen dari pertumbuhan ekonomi di Papua.
"Program pemerintah daerah hanya bersifat dari hulu saja, seperti penyediaan bibit dan penanaman. Mereka melupakan upaya hilir seperti penyediaan teknologi, inovasi pengolahan produk, badan usaha milik daerah, koperasi hingga pemasaran, " kata Laduani.
Ia pun menyatakan pola pembangunan di Papua jangan hanya terfokus pada infrastruktur namun juga pendidikan bagi masyarakat khususnya di sektor ekonomi mikro. Sebab, Papua memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan bernilai ekonomis tinggi, seperti kopi, kakao, buah merah, sagu dan gaharu. Sektor pariwisata juga menjadi primadona Papua di kalangan wisatawan nasional maupun mancanegara.
“Jarang terjadi konflik kekerasan di Kabupaten Intan Jaya yang terdapat wisata pendakian Gunung Cartenz. Setiap tahun sekitar 2.000 wisatawan asing mengunjungi tempat itu dengan membayar ribuan dollar AS. Masyarakat setempat yang bertugas sebagai pemandu wisata dan portir mendapatkan pemasukkan yang sangat baik,” tutur Laduani.
Mudah-mudahan tak ada lagi darah yang tertumpah di bumi cenderawasih pada tahun 2019. Seluruh pihak baik pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat harus bersinergi dan tidak patah semangat dapat mewujudkan harapan Papua penuh damai. Seperti mengutip kata Mahatma Gandhi, salah satu tokoh gerakan anti kekerasan dari India.
"Kamu tidak seharusnya kehilangan kepercayaan pada kemanusiaan. Kemanusiaan itu seperti lautan. Jika beberapa tetes dari air laut itu kotor, lautan sendiri itu tidak akan menjadi kotor."