Maya Hasan, Shae, dan Johan Yanuar dalam musikal Bunga untuk Mira karya sutradara Mhyajo, pengarah musik/komposer Mondo Gascaro, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 22-23 Desember.
Terinspirasi dongeng lawas Bawang Merah Bawang Putih, Mhyajo atau Mia Johannes menggelar musikal Bunga untuk Mira di Teater Jakarta pada 22-23 Desember lalu. Ada keterampilan memadukan teater, musik, tari, dan komponen seni pertunjukan lain yang membuat tontonan ini nyaman dinikmati.
Yang pertama menohok perhatian dalam pertunjukan musikal memang musik lalu tari. Dalam Bunga untuk Mira, musik garapan Mondo Gascaro dengan gravitasi rasa yang lebih cenderung ke jazz itu memberi kontribusi yang menjadikan musikal ini nyaman. Begitu juga tata gerak garapan Ufa Sofura.
Namun, musik dan tari dalam musikal tidaklah berdiri sendiri. Di sana ada komponen lain, seperti cerita dengan segenap konflik, emosi, juga kostum, set panggung, tata visual, dan tetek bengek lain. Peran sutradara Mhyajo adalah menjadi pengaba, dirigen, yang mengarahkan semua unsur pertunjukan tersebut menjadi satu kesatuan ucap tentang Bawang Merah dan Bawang Putih di lanskap jaman now.
Ceritanya sederhana, yaitu dunia hiburan panggung di mana ada bintang, gemerlap kehidupan, impian, dan ambisi besar. Hubungan antara satu tokoh dan tokoh lain sangat jelas. Tokoh jahat, tokoh baik mudah dikenali, dan dari situ konflik dibangun, serta musik disusun.
Bawang Merah itu adalah Mira yang dibawakan penyanyi Shae. Mira berada di bawah asuhan Ibu Suri, sebutan untuk ibu kandungnya yang bernama Margareta (Maya Hasan).
Sementara si Bawang Putih adalah Puti Prabuwardhana (Dea Panendra) si anak tiri yang juga berada di bawah kendali Ibu Suri. Mira menjadi penerus ambisi Ibu Suri yang bermimpi menjadi bintang. Puti ingin keluar dari kendali mereka semua. Di antara mereka ada pria Andre (Daniel Adnan).
Ambisi, konflik, tangis, kisah cinta, kesepian manusia-manusia dalam kisah ini diterjemahkan lewat musik, gerak tari garapan dan tata busana oleh Kleting Titis Wigati. Didukung tim teknis, tata cahaya, dan tata suara. Dari kostum, terucap watak setiap tokoh.
Mira si bawang merah mengenakan kostum membakar seperti ambisinya; Puti berkostum serba putih termasuk rambutnya. Sementara Ibu Suri adalah tokoh gelap dengan gaun hitam. Kleting dengan terampil merancang kostum untuk Maya Hasan seperti tokoh bad witch, penyihir jahat zaman ini.
Musikal, teatrikal
Mia dalam Bunga untuk Mira cukup hati-hati untuk tidak menempatkan musik sekadar sebagai ilustrasi. Pada adegan tertentu ia malah meminimalisasi musik dan lebih menonjolkan unsur teatrikal. Ia seperti punya prinsip bahwa tidak semua tokoh itu perlu lagu dan harus bernyanyi di semua adegan.
Musik hadir dengan pas sesuai garis cerita, bukan pengisi supaya tontonan terkesan tidak kosong. Musik yang terlalu banyak, dan salah tempat pula, bisa menjebak musikal menjadi sebuah pusparagam alias variety show.
Pada adegan lima, ”Perayaan Makan Malam”, misalnya, Mia memilih format dan ragam teatrikal. ”Tidak ada salahnya sebagai seniman kami bereksperimen. Bahwa dalam musikal itu dapat dimasukkan unsur teater dan unsur multimedia,” kata Mia.
Tokoh Puti bermonolog dengan berdiri di posisi cukup ekstrem, yaitu di ujung depan, persis di bibir panggung. Dia membelakangi meja makan panjang di mana Ibu Suri duduk di tengah, dan kiri kanannya adalah Mira, dan empat tokoh lain, yaitu Andre promotor idola, Bob sang manajer, Wina dan Gita si juru rias dan kostum. Mereka duduk memanjang seperti lukisan ”Perjamuan Malam Terakhir”-nya Leonardo da Vinci itu.
Puti bermonolog cukup panjang, dalam cahaya temaram. Di situ dia bertutur tentang nasib sebagai anak tiri. Juga cara pandang dia terhadap orang-orang di lingkaran sekitar Ibu Suri, adegan itu menjadi semacam penguatan deskripsi setiap karakter oleh pelaku masing-masing dengan pengantar narasi oleh tokoh Puti.
Pada adegan ini, kemampuan seni watak setiap tokoh dalam menggambarkan karakter benar-benar dituntut. Maya Hasan, misalnya, mampu menanggalkan image sebagai pemain harpa yang lembut dan berubah menjadi tokoh gelap. Kegelapan watak Ibu Suri diperkuat oleh tata cahaya agak remang dan latar panggung yang terkesan gothic.
Minor
Mondo Gascaro, musisi yang pernah menggarap musikal Onrop dan film Berbagi Suami itu, memilih ansambel tiup logam (brass) dan gesek (string). Warna yang agak jazz itu dipilih karena Bunga untuk Mira berlatar belakang dunia panggung tari.
”Referensi saya tarian balet lalu berubah menjadi jazz. Makanya saya pilih yang seperti musik Great Gatsby, Duke Ellington, atau Benny Goodman,” kata Mondo yang pernah bermain di kelompok jazz Sore.
Benny Goodman yang ia sebut adalah musisi jazz era swing 1930-an yang berjuluk ”King of Swing”. Duke Ellington, legenda jazz, tokoh penting swing yang mendekatkan jazz dengan rasa klasik. Musik rasa swing itulah yang digunakan dalam adegan pembuka berjudul ”Tepuk Tangan”.
Adegan pembuka ini cukup manis, yaitu tentang adegan penutupan sebuah pentas. Tari yang apik, musik tertata, diakhiri dengan tepuk tangan yang secara visual dianimasikan di panggung.
Sebagai sutradara, Mia juga berperan dalam warna musik. Misalnya ingin musik lebih banyak menggunakan chord minor untuk mempertebal nuansa gelap. Mondo cukup cerdas mengolah yang minor itu menjadi tidak terasa terlalu gelap.
Sisi cerah sebuah musikal tetap terasa dalam musiknya, tanpa menenggelamkan kesan gelap Bunga untuk Mira. Dan penonton bisa pulang dengan berbunga-bunga....