Presiden Diminta Hentikan Kriminalisasi Aktivis Lingkungan
Oleh
Evy Rachmawati
·3 menit baca
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengadakan temu media untuk menyampaikan upaya somasi terhadap presiden untuk menuntut diadakannya peraturan yang mencegah kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, Jumat (28/12/2018), di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2018, sebanyak 62 pejuang lingkungan masih mengalami kriminalisasi di sejumlah daerah di Indonesia. Untuk itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengajukan somasi kepada presiden agar Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat diimplementasikan dengan baik.
”Kriminalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum negara membuat sebagian pejuang lingkungan kini dipenjara, ditetapkan statusnya sebagai tersangka, dan sebagian masih menjalani proses sidang,” kata pengampanye Walhi Nasional, Dwi Sawung, dalam temu media di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Adapun masalah lingkungan yang diperjuangkan warga yang mengalami kriminalisasi tidak langsung ditangani secara hukum. Pemidanaan justru lebih dulu diberikan kepada pejuang lingkungan, yang secara tegas dilindungi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Nomor 32 Tahun 2009, khususnya Pasal 66.
Pejuang lingkungan adalah orang yang tanpa pamrih berjuang untuk hidup di lingkungan yang baik dan sehat. Hak itu dijamin UU PPLH Pasal 5 Ayat (1) dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 66 bertujuan melindungi pejuang atau aktivis lingkungan hidup dari tuntutan pidana ataupun gugatan secara perdata. Namun, selama ini pasal tersebut tak bisa diterapkan dengan baik, khususnya oleh aparat penegak hukum.
”Kami berharap presiden mau menerbitkan peraturan presiden untuk mendukung implementasi Pasal 66, di lintas kementerian dan lembaga pemerintahan, khususnya oleh Kejaksaan Agung, polisi, dan lembaga peradilan. Tujuannya agar pejuang lingkungan tidak dipidanakan sebelum tuntutannya diselesaikan,” kata Manajer Hukum Lingkungan Walhi Ronald Siahaan.
Kami berharap presiden mau menerbitkan peraturan presiden untuk mendukung penerapan Pasal 66, di lintas kementerian dan lembaga pemerintahan, khususnya kejaksaan agung, polisi, dan lembaga peradilan.
Sebelumnya, Walhi mendorong pemerintah untuk menerbitkan aturan teknis penerapan Pasal 66 atau Antistrategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dengan menyusun dokumen Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Namun, menurut Ronald, penerbitan Peraturan Menteri LHK itu sampai saat ini terhambat kelengkapan naskah akademik yang diminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Motif kriminalisasi
Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup, menurut laporan Walhi, dilakukan dengan berbagai motif. Upaya itu dilakukan antara lain dengan merusak reputasi korban, menghalangi korban beraktivitas, dan teror.
”Tahun ini, kami bahkan menemukan dua motif baru kriminalisasi para pejuang lingkungan hidup,” kata Sawung. Motif terbaru tersebut antara lain menerapkan pasal penghinaan lambang negara dan penyebaran ajaran komunisme.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Puluhan warga bersama Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria menggelar demo di depan Kejaksaan Negeri Banyuwangi, Kamis (27/12/2018). Mereka menolak putusan MA terkait penahanan aktivis penolakan penambangan di Tumpang Pitu, Budi Pego.
Kasus itu menimpa Heri Budiawan alias Budi Pego pada tahun 2017. Ia awalnya divonis bersalah dengan tuduhan memakai simbol komunis saat menyuarakan penolakan tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, dengan memasang spanduk karena kerusakan lingkungan ditimbulkan aktivitas tambang.
Ia terlebih dulu divonis 10 bulan oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi, lalu dikenai hukuman 4 tahun setelah kasasi yang diajukan ditolak Mahkamah Agung. (Kompas, 27/12/2018).
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Rere Christanto mengatakan, selama proses peradilan terjadi kejanggalan karena penegak hukum tidak pernah menunjukkan bukti spanduk dan menggunakan tuduhan berbeda. Penegak hukum dinilai mencari kesalahan atas perbuatan Budi dan warga lainnya.
Adapun motif penghinaan lambang negara dikenakan pada Sawin, Dananto, dan Sukma, warga Desa Mekarsari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang memenangkan gugatan izin lingkungan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara Indramayu 2 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada 6 Desember 2017.
FRANSISKUS WISNU W DANY UNTUK KOMPAS
Erawati (kiri), istri Sukma, dan Yati (kanan), istri Sawin, di kantor Walhi, Jakarta, Selasa (16/10/2018). Yati memegang cetakan foto yang menunjukkan Sawin memegang bendera yang dipasangnya. Posisi bendera tidak terbalik, seperti kasus penghinaan lambang negara yang menimpa Sawin dan Sukma karena dituduh memasang bendera negara terbalik.
Ketiganya dikriminalisasi setelah merayakan kemenangan dengan memasang bendera Merah Putih. Mereka dituduh memasang bendera negara secara terbalik oleh kepolisian dan Kejaksaan Negeri Indramayu. Mereka pun ditahan pada 27 September 2018 dan dijerat dengan Pasal 24 Huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. (Kompas, 16/10/2018) (ERIKA KURNIA)