Sebagai kawasan yang dikelilingi cincin api, bencana dengan siklus pendek hingga panjang selalu mengintai Indonesia. Bencana tsunami yang melanda pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung diharapkan menjadi momentum untuk segera memperbaiki manajemen bencana di Indonesia.
Ketua Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, permasalahan manajemen bencana di Indonesia sudah menumpuk sejak perencanaan pembangunan suatu wilayah. Hal itu yang membuat gagap pemerintah dan masyarakat ketika menghadapi bencana besar yang terjadi dalam waktu yang berdekatan.
”Manajemen bencana itu dimulai dari upaya perencanaan pembangunan, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Jika masih ada kerusakan parah dan banyak korban jiwa, artinya ada celah yang kosong di dalam manajemen bencana,” kata Eko ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (27/12/2018).
Eko mencontohkan bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Ia melihat bahwa perencanaan pembangunan di tempat tersebut tidak mempertimbangkan sejarah kebencanaan. Menurut dia, hal itu berkontribusi terhadap tingginya risiko jika terjadi bencana.
Pembangunan di Palu mulai terlihat sejak 1970-an. Pembangunan perumahan diiringi arus transmigrasi terjadi di kota tersebut. Namun, Eko berpendapat bahwa pengetahuan lokal masyarakat dan sejarah suatu tempat tidak dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan.
Di Palu, Eko mengatakan bahwa penduduk lokal sudah memiliki pengetahuan likuefaksi. Hal itu dapat ditinjau dari adanya istilah lokal untuk likuefaksi, yakni nalodo. Menurut Eko, kearifan lokal semacam itu perlu dipertimbangkan di dalam perencanaan pembangunan.
”Kearifan lokal biasanya hanya berhenti pada pengetahuan, padahal harus diterjemahkan ke dalam tindakan,” ujar Eko.
Pengetahuan
Bencana yang menghantam kawasan di sekitar Selat Sunda memberi pengetahuan baru tentang tsunami. Eko mengatakan, selama ini Indonesia hanya menyiapkan peringatan dini untuk tsunami yang disebabkan gempa bumi. Hal itu yang membuat peringatan dini tidak bekerja di pesisir sekitar Selat Sunda.
”Kita tahu bahwa tsunami ini terjadi ketika status gunung masih Waspada, bukan Awas. Ini berbeda dengan tsunami akibat Gunung Krakatau 1883 yang kira-kira saat itu gunung erupsi dalam status Awas. Jadi, secara pengetahuan kita belum sampai ke sana. Ini harus dikejar agar korban dan kerusakan bisa diminimalisasi di masa mendatang,” katanya.
Eko berpendapat bahwa harus ada serangkaian investasi untuk memastikan bahwa proses kesiapsiagaan masyarakat berjalan terus. Hal itu perlu difasilitasi melalui kebijakan dan kerja sama yang terjalin di masyarakat.
Pengajar Komunikasi Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Puji Lestari, mengatakan bahwa kebijakan pemerintah bisa berangkat dari karakteristik budaya suatu wilayah. Ia mencontohkan, ilmu komunikasi bisa diterapkan dalam mengantisipasi erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta.
Puji menyebutkan, masyarakat di sekitar daerah rawan bencana di Yogyakarta memiliki konsep desa bersaudara. Desa yang terletak di dekat pusat bencana memiliki hubungan erat dengan desa yang jauh dari ancaman bencana meski masyarakatnya tidak memiliki hubungan darah.
”Hubungan dan komunikasi sudah dibangun antardesa jauh sebelum terjadi bencana. Ketika terjadi bencana, mereka tidak perlu menunggu bantuan orang lain, tetapi langsung mengungsi ke desa saudaranya,” kata Puji.
Menurut Puji, hal itu perlu juga dibangun di sejumlah daerah lain yang berpotensi bencana. Investasi budaya tersebut membuat masyarakat mandiri ketika terjadi bencana sehingga bisa mengurangi pengungsi.
Ia juga mengatakan bahwa institusi pendidikan perlu berperan dalam menanamkan pengetahuan bencana kepada masyarakat. Ilmu mengenai kebencanaan sudah saatnya dimasukkan ke dalam kurikulum.
”Untuk melanggengkan pengetahuan kebencanaan, pendidikan sejak jenjang SD sampai perguruan tinggi perlu ada mengingat karakteristik bencana berbeda-beda di setiap wilayah. Ada yang siklusnya pendek ada pula yang siklusnya lama seperti tsunami,” kata Puji.
Tata ruang
Banyak tempat wisata di Indonesia yang berpotensi bencana. Pengelola wisata dan pemangku kebijakan perlu berkomitmen untuk menata lokasi wisata agar potensi kerugian dan korban bisa berkurang.
Pakar tsunami di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, mengatakan, sepanjang pantai Cilegon sampai perbatasan Anyer masih terdapat bangunan di kawasan sempadan pantai. Hal itu didapati saat ia dan tim melakukan survei lapangan pascatsunami, Rabu (26/12/2018).
”Titik terjauh terjangan tsunami ke darat 84 meter dari pantai. Kerusakan rumah di sana mayoritas rusak ringan. Namun, ada beberapa yang rusak sedang dan parah,” kata Abdul.
Eko mengatakan, sinergi pemerintah dan pengelola wisata perlu dibangun untuk mengantisipasi bencana. Peringatan dini perlu disesuaikan dengan karakteristik potensi bencana. Tempat pariwisata juga, menurut Eko, perlu dilengkapi dengan imbauan dan peta lokasi untuk menyelamatkan diri.
”Pariwisata yang baik adalah yang mampu mengantisipasi dari ancaman bencana. Dalam kasus di sekitar Selat Sunda, ke depan pembangunan dilakukan tidak di dekat pantai, sesuai hasil survei para peneliti. Peringatan dini juga dikelola yang baik sesuai karakteristik Selat Sunda. Jika ancamannya tsunami, perlu ada tempat evakuasi vertikal yang memadai,” kata Eko.
Eko menegaskan bahwa pekerjaan rumah mengenai manajemen bencana di Indonesia perlu dikerjakan serius. Menurut dia, hal itu penting sebab banyak daerah di Indonesia yang berpotensi bencana. Jika diantisipasi, investasi untuk penanggulangan bencana akan selalu besar. (SUCIPTO)