JAKARTA, KOMPAS — Agar bisa berkompetisi dan berinovasi, industri pertahanan membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tinggi. Perlu terobosan untuk mengatasi kondisi kekinian dari sumber daya manusia di industri pertahanan.
Hal ini disampaikan Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Sumardjono dalam pertemuan dengan media di Jakarta, Jumat (28/12/2018). Sumardjono mengatakan, diperlukan kerja sama antara pengguna alat pertahanan dan keamanan, pemerintah, dan produsen.
Dari sisi produsen, dibutuhkan kemampuan untuk bisa berinovasi agar produk yang dihasilkan terus meningkat kualitasnya. Untuk itulah, dibutuhkan kualitas SDM yang mumpuni.
”KKIP sudah bertemu dengan Kementerian Keuangan. Sayangnya memang yang mendaftar beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tidak banyak yang berminat industri pertahanan,” kata Sumardjono.
Rendahnya insentif ditengarai menjadi penyebab utama anak muda enggan masuk ke industri pertahanan. Padahal, industri pertahanan bisa menjadi lokomotif perkembangan industri nasional.
Realitasnya, KKIP menemukan bahwa dari sisi kualitas, sumber daya manusia di industri pertahanan, baik swasta maupun badan usaha milik negara, masih harus diperbaiki. Dari segi pendidikan, untuk strata 2 baru mencapai 2,1 persen untuk BUMN dan 1,6 persen untuk swasta. Sementara untuk strata 3 baru mencapai 0,1 persen untuk BUMN dan 0,2 persen untuk swasta. Tingkat pendidikan S1 angkanya jauh lebih tinggi 28 persen (BUMN) dan 18 persen (swasta) walaupun profil pekerja mayoritas adalah setingkat SMU, yaitu 55 persen (BUMN) dan 53,8 persen untuk swasta.
”Dari sisi usia juga yang paling banyak usia 30-40 tahun, padahal kita harapkan komposisi paling besar ada di usia 20-30 tahun,” kata Kepala Bidang Alih Teknologi dan Ofset KKIP Laksamana Muda (Purn) Rahmad Lubis.
Rahmad mengatakan, rendahnya gaji yang ditawarkan BUMN industri pertahanan terkait dengan rendahnya keuntungan yang dimiliki. Namun, hal ini perlahan-lahan sudah berubah. Kinerja industri pertahanan secara finansial perlahan tetapi pasti meningkat. Oleh karena itu, ke depan BUMN industri diharapkan bisa memberikan gaji yang lebih besar.
Staf ahli KKIP Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pos M Hutabarat, mengatakan, tanpa bermaksud mendiskreditkan lulusan SMA, sulit jika SDM setingkat SMA sederajat dituntut melakukan inovasi. Masalahnya, mahasiswa berprestasi tentunya menjadi incaran banyak pihak. Di satu sisi, gaji yang ditawarkan industri pertahanan BUMN hanya sedikit di atas upah minimum.
Mengingat signifikansi industri pertahanan di mana teknologi menjadi faktor pengubah perang di masa depan, perlu dukungan semua pihak. Staf Ahli Bidang Riset dan Teknologi KKIP, Marzan Aziz Iskandar, mengatakan, saat ini pihaknya tengah berupaya melibatkan perguruan tinggi dalam pengembangan industri pertahanan. ”Kita bikin konsorsium lembaga litbang yasa,” kata Marzan.
Menurut dia, KKIP sudah mengidentifikasi teknologi kunci dalam tujuh program prioritas pengembangan industri pertahanan. Ketujuh bidang tersebut adalah pesawat tempur, propelan, radar, kapal selam, rudal, roket dan tank sedang. Dalam setiap program itu telah dibentuk konsorsium yang melibatkan pengguna, produsen, dan juga perguruan tinggi. Usulan proposal nantinya akan bersifat dari atas ke bawah sehingga sesuai dengan tujuh prioritas ini.
”Nanti kami pilah-pilah lagi. Mana yang mau dikuasai lewat litbang yasa, mana yang ofset, atau transfer teknologi,” kata Marzan.