JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dinilai perlu memerhatikan risiko teknis dan biaya operasional dalam mengomersialkan proyek infrastruktur jaringan tulang punggung serat optik Palapa Ring. Kehadiran Palapa Ring diharapkan menarik operator telekomunikasi untuk menggunakannya.
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Joseph Matheus Edward di Jakarta, Rabu (26/12/2018), mencontohkan risiko kabel putus yang butuh biaya besar. Risiko lainnya ada ketika ingin menyambungkannya ke jaringan akses akhir di permukiman warga di desa tertinggal, terdepan, dan terluar.
"Jaringan Palapa Ring membawa kapasitas pita lebar cukup besar. Jika pemerintah bersikeras desa tertinggal, terdepan, dan terluar mendapat internet, apakah penduduknya membutuhkan kapasitas pita lebar yang besar? Apa semua operator mau bangun jaringan akses akhir tanpa insentif negara?" kata Ian.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Merza Fachys berpendapat, dengan selesainya proyek Palapa Ring, semua operator telekomunikasi seluler sebenarnya lebih cepat mengembangkan pasar baru ke daerah yang tergolong "sulit".
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Jamalul Izza menekankan, jaringan yang dihadirkan Palapa Ring merupakan tulang punggung. Jaringan akses akhir sampai ke rumah-rumah penduduk tetap harus dikonstruksi sendiri oleh operator telekomunikasi seluler atau jasa internet.
"Pemerintah kan mempunyai dana pelayanan universal atau USO. Dana ini bisa dipakai membantu pembangunan jaringan akses akhir," katanya.
Pembangunan proyek Palapa Ring memakai skema kerja sama pemerintah dan badan usaha. Pembiayaannya mengenakan skema ketersediaan layanan atau availability payment sehingga memungkinkan pemerintah memulai pembayaran penggantian modal yang ditanamkan investor setelah proyek beroperasi.
Akhir pekan lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengumumkan bahwa Palapa Ring paket tengah telah selesai dibangun. Paket tengah dibangun melintasi 17 kabupaten/kota di Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Nilai proyek mencapai Rp 1,38 triliun. Jaringan kabel tulang punggung serat optik memiliki panjang 2.995 kilometer.
Adapun perkembangan pembangunan Palapa Ring Paket Timur hingga Desember telah mencapai 88,14 persen.
Sebelumnya, pada Maret 2018, Palapa Ring paket barat rampung dibangun. Total panjang jaringan yaitu 2.275 kilometer dan menjangkau lima kabupaten di provinsi Riau, Kepulauan Riau, serta Kalimantan Barat. Kemkominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) mengeluarkan surat Keputusan Direktur Utama BAKTI Nomor 51 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Penyediaan Jaringan Serat Optik Palapa Ring kepada operator seluler ataupun jasa internet yang ingin menyewa paket barat. Tarif terdiri dua bagian, yakni tarif penyediaan kapasitas pita lebar atau bandwidth dan tarif penyediaan kabel serat optik pasif.
"Kehadiran Palapa Ring sejatinya adalah insentif besar dari pemerintah. Kalau mereka (operator telekomunikasi seluler ataupun jasa internet) membangun jaringan tulang punggung sendiri, mereka pasti mengeluarkan biaya lebih besar," kata Direktur Utama BAKTI, Anang Latif, ketika ditanya ada tidaknya insentif baru bagi operator yang menggunakan jaringan tulang punggung Palapa Ring untuk membangun jaringan akses akhir.
Dia mengatakan, paket barat telah mulai beroperasi. BAKTI mencatat Telkom group dan Mora Telematika Indonesia sebagai operator telekomunikasi pengguna. Sementara pada paket tengah, Anang menyebut 23 perusahaan telekomunikasi telah mengajukan minat menggunakan. BAKTI tidak akan melakukan seleksi calon pengguna.
"Siapa operator telekomunikasi yang membutuhkannya, kami segera proses dokumen administrasi," ujarnya.