Koordinasi Pendidikan Belum Apik
Contoh koordinasi yang buruk ada pada sistem zonasi, yang sejatinya baik untuk pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Namun, kebijakan ini multitafsir.
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya koordinasi beserta ego sektoral pemerintah pusat, daerah, hingga ke level sekolah masih menjadi inti permasalahan pendidikan selama tahun 2018. Silang sengkarut koordinasi ini juga mengakibatkan tidak adanya transparansi dalam proses pendidikan maupun penggunaan anggaran pendidikan di sekolah.
Hal ini mengemuka dalam diskusi “Catatan Akhir Tahun Pendidikan” yang diadakan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) di Jakarta pada hari Rabu (26/12/2018). “Setiap pihak seolah merasa tersandera. Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mengaku tidak memiliki wewenang mengatur daerah karena otonomi daerah, sementara pemerintah daerah mengaku tidak memiliki anggaran yang cukup untuk pendidikan sehingga masih mengandalkan pemerintah pusat, adapun sekolah mengaku tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dinilai buruk oleh dinas pendidikan,” kata Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sampoerna Nisa Felicia.
Salah satu bentuk koordinasi buruk ialah sistem zonasi. Menurut Nisa, sistem ini sejatinya baik untuk pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi, kebijakannya masih multitafsir di lapangan. Ia mencontohkan definisi zonasi yang berbeda-beda di berbagai wilayah. Ada yang berdasarkan radius sekolah ke permukiman, besar wilayah kecamatan, hingga berdasarkan jumlah kelurahan.
Akibatnya, banyak siswa yang tidak mendapat sekolah karena rumah mereka jauh dari zona mana pun. Bisa juga meskipun mereka tinggal di dekat sekolah, populasi wilayah yang padat membuat kuota siswa baru cepat terisi. Hal ini juga ditambah dengan orangtua yang bersikeras anaknya harus masuk sekolah negeri dengan alasan prestise serta mutu pendidikan. “Ini menunjukkan skema peningkatan mutu sekolah tidak merata,” tutur Nisa yang juga peneliti di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan.
Kebijakan zonasi yang tertuang dalam Peraturan Mendikbud 14/2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga belum didukung oleh peraturan turunan di daerah. Sistem ini sejatinya untuk menampung keunikan permasalahan di setiap wilayah karena perbedaan geografis dan budaya lokal di Nusantara tidak bisa diselesaikan dengan peraturan yang bersifat kaku.
Nisa berpendapat, apabila zonasi belum bisa diterapkan secara optimal, lebih baik diterapkan di provinsi-provinsi yang sudah siap. Adapun provinsi lain diberi waktu untuk menyiapkan infrastruktur dan sistem untuk mengakomodasi kebijakan tersebut.
Belum transparan
Kurang koordinasi juga dirasakan pada level sekolah. Antara orangtua, guru, siswa, dan orangtua belum sepenuhnya membangun komunikasi yang terbuka dan efektif. “Pengalaman JPPI di lapangan mengungkapkan bahwa tidak semua guru mengetahui jumlah dan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) baik dari Kemendikbud maupun dari pemda. Semua dikelola sendiri oleh kepala sekolah,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji.
Ia menjelaskan, belum semua sekolah memanfaatkan keberadaan komite sekolah untuk membahas penggunaan serta evaluasi dana BOS. Tanpa adanya persetujuan komite dan pengawasan, pemakaian dana BOS dikhawatirkan tidak tepat sasaran, contohnya malah membeli kebutuhan sekunder seperti perangkat komputer, sementara kebutuhan primer seperti ketersediaan ruang kelas, bangku dan meja, ataupun peningkatan kompetensi guru terabaikan.
Dari sisi PPDB, masyarakat juga mengeluhkan sistem daring yang membuat masyarakat tidak bisa memantau prosesnya. Tidak pernah anda penjelasan mengenai penerimaan ataupun penolakan calon siswa dari satu sekolah. Padahal, siswa tersebut memenuhi persyaratan administratif. “Tanpa koordinasi, tidak ada kepercayaan yang terbangun. Padahal, pendidikan dibangun berdasarkan kepercayaan,” ujar Ubaid.
Tanpa adanya persetujuan komite dan pengawasan, pemakaian dana BOS dikhawatirkan tidak tepat sasaran, contohnya malah membeli kebutuhan sekunder seperti perangkat komputer, sementara kebutuhan primer seperti ketersediaan ruang kelas, bangku dan meja, ataupun peningkatan kompetensi guru terabaikan.
Minim anggaran
Koordinasi yang kurang baik juga tampak antara Kemendikbud dengan Kementerian Keuangan. Peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Muawanah, menerangkan bahwa 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang digunakan untuk pendidikan masih mencakup gaji guru. Porsi yang digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan sedikit.
Ia juga mencermati provinsi-provinsi masih mangkir mengalokasikan 20 persen APBD untuk pendidikan. Dari 34 provinsi, hanya Riau yang mengalokasikan hampir 20 persen, yakni 19,9 persen. Namun, dari jumlah itu, ternyata sebanyak 11 persen digunakan oleh dinas pendidikan sebagai belanja tidak langsung.
“Artinya, mayoritas dana pendidikan habis untuk rapat-rapat dinas, lokakarya, dan pelatihan guru yang sistemnya tidak transparan serta tidak terukur perubahannya. Dana pendidikan yang dinikmati oleh siswa tidak sampai 10 persen,” tuturnya.