Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tak bisa lagi dikelola sepenuhnya terpisah dari daerah-daerah lain di sekelilingnya. Kerja sama antardaerah disadari semakin penting guna mengatasi beragam masalah kompleks, mulai dari perkara sampah hingga kemacetan. Sering kali kerja sama—apalagi yang melibatkan proses birokrasi—begitu mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.
Kamis (20/12/2018) sekitar pukul 18.30 di Balai Kota DKI Jakarta, Kepala Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta Premi Lasari masih terlihat sibuk. Ia terlihat berlari-lari kecil untuk menyelesaikan dokumen kerja sama dengan Pemerintah Kota Bogor untuk penataan situ senilai Rp 10 miliar. ”Ini harus selesai malam ini agar bisa cair,” katanya.
Anggaran itu merupakan bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu upaya mencegah banjir di Ibu Kota dari hulunya. Kejadian itu adalah gambaran betapa rumitnya kerja sama antardaerah yang melibatkan birokrasi.
Begitu banyak dokumen hingga peninjauan lapangan yang harus dilakukan. Semua untuk memastikan anggaran digunakan dengan tepat sasaran dan tentunya menghindari kesalahan administrasi yang bisa berbuntut dugaan korupsi.
Hal ini pernah menghangatkan hubungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi beberapa bulan lalu. Saat itu, Pemerintah Kota Bekasi menghentikan truk sampah DKI Jakarta.
Akar perkara adalah bantuan yang belum selesai diproses karena beberapa tahapan dokumen dan pemeriksaan lapangan yang harus dilakukan. Masalah selesai setelah tercapai kesepakatan di antara kepala daerah.
Untuk itulah, sebenarnya Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) dibentuk. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat BKSP Jabodetabekjur, badan itu wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam hubungannya dengan pemerintah daerah.
Namun, sebagai badan yang bertugas melancarkan, kinerjanya pun selama ini dinilai tak lancar. Bahkan, pada 2014, sejumlah kepala daerah pernah ingin membubarkannya karena menilainya tak efektif. Sekitar 2015 hingga awal 2018, badan ini pun seolah mati suri.
Awal tahun ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menjabat Ketua BKSP Jabodetabekjur kembali ingin mengefektifkan badan itu. Pernyataan ini diikuti dengan penandatanganan beberapa perjanjian kerja sama antardaerah pada Kamis sore lalu.
Sekretaris BKSP Jabodetabekjur Tri Kurniadi mengatakan, beberapa perjanjian kerja sama itu dirumuskan setelah rangkaian rapat panjang yang juga melibatkan para ahli. ”Semoga ini bisa jadi gebrakan baru. Kami ingin menghidupkan lagi BKSP ini,” katanya.
Untuk berbagai kerja sama itu, Pemprov DKI Jakarta mengajukan usulan anggaran lebih kurang Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2019. Jumlahnya meningkat dari 2018 sekitar Rp 269 miliar. Jumlah ini merupakan anggaran bantuan terbesar sejak delapan tahun terakhir.
Sejak 2010, Pemprov DKI Jakarta, sebagai daerah dengan APBD terbesar, memang menganggarkan bantuan kepada daerah-daerah Jabodetabekjur. Bantuan ini didominasi untuk pencegahan banjir ke Ibu Kota dengan penataan di kawasan hulu.
Namun, bantuan itu tak serta-merta cair. Daerah terkait harus terlebih dahulu melengkapi dokumen, termasuk rancangan detail (DED) untuk proyek yang akan dibiayai.
Untuk tahun ini, sejumlah proyek yang sudah diusulkan antara lain untuk pembangunan pengolahan sampah di dekat jalan tol, penataan situ dan sungai untuk pencegahan banjir, serta pembangunan kantong parkir (park and ride) di 10 lokasi.
Tak bisa sendiri
Pentingnya kerja sama pengelolaan kawasan Jakarta dengan daerah sekitarnya sudah disadari sejak tahun 1976. BKSP Jabodetabekjur berawal dari Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang pengembangan wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Instruksi ini didasari bahwa kegiatan industri dan perdagangan di Jakarta telah menimbulkan tekanan penduduk yang makin berat. Oleh karena itu, dianggap perlu langkah-langkah guna meringankan tekanan penduduk tersebut dengan membina pola permukiman dan penyebaran kesempatan kerja secara lebih merata, terutama di daerah-daerah yang berbatasan dengan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Saat ini, pengelolaan kawasan di DKI Jakarta semakin tak bisa lagi terpisah dari para tetangganya tersebut. Seperti dikatakan Anies, pada kenyataannya, Jabodetabekjur bisa dikatakan sudah terintegrasi, dari sisi ekonomi, sistem transportasi, dan kependudukan.
Dari sisi sistem transportasi, lanjut Tri, setiap hari ada sekitar 2 juta kendaraan yang masuk ke Jakarta dari daerah-daerah tetangga tersebut. ”Oleh karena itu, pembangunan park and ride di daerah-daerah tetangga itu penting sekali untuk mengurangi kemacetan Jakarta,” katanya.
Dengan kondisi ini, seberapa pun kebijakan lalu lintas diterapkan di Ibu Kota, akan sulit berhasil mengurangi kemacetan tanpa ada upaya dari daerah-daerah asal jutaan kendaraan itu. Untuk sumber air dan pembuangan sampah pun, saat ini Jakarta masih bergantung pada daerah tetangga.
Dari sisi kependudukan, diperkirakan jutaan warga yang tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur bekerja di Jakarta. Saat daerah tetangganya tak berkembang secara ekonomi, Jakarta juga akan menjadi tumpuan untuk mencari kerja. Ini bisa menjadi tambahan beban bagi Ibu Kota yang sudah sarat masalah ini.
Tak salah jika Anies berharap pertemuan Jabodetabekjur itu tidak hanya dilakukan karena saat ini tengah memasuki tahun anggaran baru. Ia berharap kerja sama antardaerah ini tak hanya di bidang APBD, tetapi juga meluas hingga sektor swasta dan badan usaha milik daerah.
Demi Ibu Kota yang lebih berperikemanusiaan, dibutuhkan kemauan politik dari tiap kepala daerah Jabodetabekjur untuk menyadari pentingnya kerja sama ini. Jangan berhenti di meja tanda tangan.