Perkembangan media sosial diikuti oleh korporasi sebagai peluang untuk membuat kanal pemasaran lebih banyak. Mereka menggunakan media sosial untuk alat promosi. Pada saat bersamaan mereka juga menggunakan beberapa orang berpengaruh sebagai “influencer” untuk mengenalkan produk-produk mereka dan juga untuk promosi perusahaan. Seiring berjalannya waktu bisnis “influencer” makin membesar namun pada saat bersamaan makin banyak ditemukan tindakan-tindakan kotor demi mendapatkan uang semata.
Beberapa orang di Indonesia membuat unggahan-unggahan agar ia ditarik sebagai “influencer”. Ia seolah-olah menjadi bagian dari orang yang dipesan oleh perusahaan tertentu sebagai “influencer” padahal ia hanya membuat unggahan biasa saja dengan menggunakan produk tertentu, membuat pujian terhadap produk, dan menyebut akun media sosial perusahaan itu. Upaya memancing perusahaan itu mulai berkembang belakangan ketika perusahaan tak lagi hanya menengok artis sebagai “influencer” namun juga kalangan biasa yang dipandang bisa menjadi “influencer”.
Beberapa waktu lalu tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh “influencer” diungkap oleh perusahaan multinasional Unilever. Mereka mengancam tak lagi memakai orang-orang yang selama ini bekerjasama dengan korporasi itu namun diketahui mempunyai pengikut palsu, membuat mesin komentar, membuat tanda suka palsu, dan lain-lain. Unilever telah mendeteksi beberapa “influencer” ternyata melakukan tindakan tidak terpuji. Bila terbukti melakukan itu, korporasi ini akan memutuskan kontraknya.
Sebuah media di Australia juga baru saja memberitakan orang-orang yang ingin menjadi “influencer” dengan melakukan tindakan tidak etis. Ia membuat unggahan-unggahan yang memperlihatkan seolah-olah dia adalah ”influencer” untuk produk-produk terkenal. Cara ini dipakai untuk memperlihatkan kepada perusahaan atau pihak lain bahwa ia telah menjadi “seseorang” sehingga perusahaan itu tertarik untuk memakainya sebagai “influencer” produk. Mereka tak segan menggunakan berbagai produk terkenal dan disertai kalimat-kalimat promotif agar dianggap sebagai “influencer”.
Di Inggris terdapat fenomena “sponcon”. Fenomena ini mirip dengan kasus di Australia. Seorang pemilik akun akan memasang aktivitas dia dan menyebut nama produk serta mengaitkannya dengan akun produk itu sehingga dikira sebagai iklan sebenarnya. Mereka melakukan ini dengan harapan bisa melakukan kesepakatan bisnis pada masa depan. Mereka memiliki motivasi agar para pengikutnya yakin bahwa dirinya telah menjadi bagian dari iklan untuk produk tertentu.
Beberapa cara lainnya yang tidak etis dilakukan orang dengan cara mengunjungi butik-butik kemudian mencoba beberapa pakaian. Kemudian mereka memotret dirinya sendiri. Selesai melakukan tindakan itu mereka mengembalikan pakaian itu alias tidak membelinya, hanya sekadar potret-potret saja. Setelah keluar dari butik, mereka mengunggahnya ke media sosial dan dikesankan ia menjadi “influencer”. Ada juga yang mencoba baju hingga sepuluh namun akhirnya membeli satu pakaian namun mereka telah membuat 10 foto dengan baju dengan merek berbeda.
Tindakan tidak terpuji ini telah berdampak pada para “influencer” yang sesungguhnya. Perusahaan mulai tidak mau membayar mahal mereka karena bermunculan “influencer” palsu. Mereka yang benar-benar menjadi “influencer” kini juga terpaksa menggunakan label verifikasi sebagai “influencer” sejati. Kini mereka terus mencari akal agar bisa tetap dipakai perusahaan untuk alat promosi.
Di sisi lain mereka mulai menghadapi ancaman karena perusahaan juga mulai melirik “nano influencer” yaitu mereka yang memiliki akun sedikit namun fokus dengan isu atau bidang tertentu. Perusahaan menggunakan mereka karena mereka lebih mudah berkomunikasi dengan pengikutnya dibanding mereka dengan akun jutaan yang tak bakal bisa berkomunikasi secara intens.
Tindakan tidak terpuji itu menjamur belakangan karena dunia ini sangat menjanjikan uang. Dunia “influencer” sangat menarik karena secara global pada tahun 2017 nilai bisnis ini sekitar 2 miliar dollar AS namun diprediksi akan mencapai 10 miliar dollar AS pada tahun 2020. Perusahaan berkeyakinan bahwa penggunaan “influencer” akan meningkatkan bisnis mereka dibandingkan menggunakan cara-cara beriklan konvensional. Dalam hitungan mereka satu dollar AS yang dikeluarkan bisa menghasilkan nilai keluaran hingga 6,5 dollar AS.
Akan tetapi belakangan beberapa tindakan tidak terpuji oleh “influencer” menyebabkan perusahaan berpikir ulang untuk menggunakan mereka. Beberapa temuan yang kerap muncul adalah mereka tidak disiplin dengan ikatan perjanjian. Semisal mereka terikat dengan salah satu merek bank namun kerap mereka menerima order perusahaan sejenis. Gaya hidup “influencer” juga kadang tak selaras dengan merek yang dibawakan.