MANADO, KOMPAS — Keberadaan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS melalui kelompok Maute di kawasan Asia Tenggara jangan dianggap remeh. Serangan atas Marawi, Filipina selatan, tahun lalu menjadi pengingat agar Indonesia mewaspadai ancaman dari utara.
Duta Besar Indonesia untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (26/12/2018), mengatakan, setelah kalah di Marawi, keberadaan kelompok Maute sulit dideteksi. Kelompok itu diyakini membentuk sel baru di kawasan Filipina selatan dan belum meninggalkan tujuan utama mereka, yakni mendirikan pemerintahan atau kekhalifahan Asia Tenggara.
Menurut Sarundajang, wilayah Mindanao, Filipina selatan, menjadi wilayah paling subur lahan pembentukan sel dan perekrutan anggota baru. Kawasan Mindanao dapat dijangkau dengan perahu motor dari wilayah utara Indonesia, seperti Sangihe dan Talaud. Dari Marore, orang dapat ke Mindanao dengan perahu motor selama 4-5 jam.
Sarundajang mengatakan, Pemerintah Filipina masih memberlakukan status darurat militer khusus untuk Mindanao hingga akhir tahun ini dengan tujuan menghambat gerak kelompok radikal.
”Presiden Rodrigo Duterte kemungkinan memperpanjang status darurat militer khusus di Mindanao hingga tahun depan. Filipina sangat mewaspadai gerakan radikal dengan sejumlah latihan perang kota oleh militernya,” katanya.
Di samping Filipina, Singapura juga telah ”memperketat” orang masuk ke negaranya sekaligus melakukan latihan mengantisipasi serangan teroris.
Sarundajang menuturkan, ia telah menyampaikan kewaspadaan ancaman dari utara kepada Kementerian Luar Negeri agar diantisipasi. Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana mengatakan, pengamanan wilayah perbatasan terus dilakukan dengan menempatkan sejumlah pos militer dan polisi di Kecamatan Marore, Marampit, dan Miangas yang berbatasan dengan Filipina.
”Aparat TNI juga selalu melakukan ronda ke sejumlah pulau kosong di Sangihe dan Talaud,” katanya.
Gaghana menambahkan, posisi geografis Sangihe dan Talaud dengan puluhan pulau kosong di wilayah perbatasan cukup rentan bagi masuknya kelompok radikal ke Indonesia.
Kota Marawi, yang berpopulasi 200.000 warga mayoritas Muslim, diduduki kelompok militan yang berafiliasi pada milisi NIIS selama lima bulan sejak Mei tahun lalu. Saat itu, hampir setiap hari terjadi serangan udara, tembakan artileri, serta pertempuran kota antara militer Filipina dan kelompok militan tersebut.
Hampir 1.200 orang tewas dalam pertempuran tersebut. Sebagian besar kota di tepi danau yang indah itu pun hancur. Ribuan warga mengungsi ke kamp pengungsi atau ke rumah kerabat di kota-kota terdekat.
Sarundajang menambahkan, anggota Maute yang sempat melarikan diri saat operasi perebutan kembali Marawi diduga melakukan perekrutan anggota. Caranya dengan memberikan janji atau iming-iming uang, senjata, dan perhiasan yang dijarah dari bank dan rumah penduduk.