JAKARTA, KOMPAS - Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto per akhir November 2018 sebesar 29,91 persen. Rasio utang menurun dibandingkan bulan lalu karena adanya pelunasan utang jatuh tempo dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Rabu (26/12/2018), rasio utang menurun dari bulan Oktober 2018 sebesar 30,68 persen dengan asumsi produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 14.596,64 triliun. Pada November, PDB Indonesia sebesar Rp 14.679,42 triliun.
Total utang pemerintah pusat sebesar Rp 4.395,97 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam dan luar negeri Rp 784,38 triliun, serta surat berharga negara (SBN) Rp 3.611,59 triliun. Adapun SBN denominasi rupiah Rp 2.612,68 triliun (59,43 dari total SBN), sementara SBN denominasi valuta asing Rp 988,9 triliun (22,73 persen dari total SBN).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pemerintah fokus memperdalam pasar SBN domestik untuk mengurangi beban pembiayaan utang akibat fluktuasi nilai tukar rupiah. Selama ini pasar SBN domestik di Indonesia belum tergarap optimal yang terlihat dari porsi kepemilikan SBN oleh kaum muda yang masih minim.
Strategi membidik kaum muda, antara lain bekerjasama dengan teknologi finansial (fintech) dalam penerbitan elektronik-SBN atau e-SBN. Pasar domestik diperluas karena pembelian SBN kini tak harus melalui perbankan, tetapi bisa melalui fintech. Ada tiga jenis e-SBN yang diterbitkan pemerintah pada 2018, yaitu Savings Bond Retail (SBR) seri 003 dan SBR-004, serta Sukuk Tabungan seri 002.
Pemerintah fokus memperdalam pasar surat berhaga negara domestik untuk mengurangi beban pembiayaan utang akibat fluktuasi nilai tukar rupiah
Pengelolaan pembiayaan utang, lanjut Luky, dilakukan secara hati-hati dan kredibel. Setiap tahun pemerintah memperhitungkan kemampuan bayar utang dan merencanakan penarikan utang baru untuk untuk pembangunan yang sifatnya produktif. Istilah produktif merujuk kegiatan yang bisa jadi motor penggerak dan memiliki dampak berganda.
Pemerintah berupaya tidak selalu bergantung pada utang untuk menutup defisit APBN. Strategi pembangunan yang tidak membebani APBN turut dikembangkan, antara lain melalui pembiayaan alternatif Public Private Partership (PPP) dan penerbitan obligasi hijau (green sukuk). Pembiayaan alternatif ini bisa mengurangi beban utang yang disebabkan fluktuasi nilai tukar.
Strategi tersebut berdampak pada penurunan pembiayaan utang. Realisasi pembiayaan utang sampai akhir November 2018 sebesar Rp 361,91 triliun atau 90,65 persen dari pagu APBN 2018. Realisasi pembiayaan utang menurun atau tumbuh negatif 18,64 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.
Secara terpisah, Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, perekonomian Indonesia pada paruh pertama tahun 2019 masih diselimuti ketidakpastian yang bersumber dari keputusan perang dagang AS-China, kenaikan suku bunga acuan The Fed, dan pelaksanaan pemilihan umum. Kebijakan menjaga stabilitas lebih penting daripada memacu pertumbuhan secara agresif.