JAKARTA, KOMPAS—Seiring kemajuan pengetahuan dan teknologi kedokteran penanganan masalah stunting atau tubuh pendek karena kurang gizi kronis di Indonesia memerlukan pendekatan lebih spesifik. Hal ini memerlukan komitmen dan konsistensi pada riset-riset dasar kedokteran. Sumber daya manusia peneliti yang ada sekarang sebenarnya sudah bisa melakukannya.
Demikain pesan yang disampaikan Prof Saptawati Bardosono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap ilmu Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di aula Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) FKUI, Sabtu (22/12/2018).
Prof Saptawati mengatakan, penanganan stunting selama ini belum memberikan hasil yang diharapkan. “Sejak disertasi doktor saya tahun 2003 yang mengobservasi kondisi tahun 1998 hingga disertasi mahasiswa calon doktor bimbingan saya tahun 2018 masalah stunting masih dalam proses pencarian faktor-faktor predisposisinya, belum berlanjut pada intervensi dukungan nutrisi spesifik,” ujarnya.
Persoalan stunting akan menjadi cerita tanpa akhir jika ditangani dengan pendekatan dukungan nutrisi konvensional tanpa melibatkan berbagai aspek gangguan metabolik yang telah terjadi sejak masa konsepsi. Dukungan nutrisi konvensional memberi perhatian pada perbaikan nutrisi ibu sejak 500 hari pertama kehidupan, melalui pemberian zat gizi mikro ganda (suplementasi zat besi harian, suplementasi zink, kalsium dan vitamin D). Namun, hasilnya masih bervariasi terhadap perubahan epigenetik lain.
Khusus untuk negara berkembang seperti Indonesia, kemungkinan ada infeksi subklinis oleh bakteri tanpa ada diare. Anak-anak yang tumbuh di lokasi dengan sanitasi buruk membuat mereka terpapar bakteri usus patogen melalui mekanisme fecal-oral (kotoran ke mulut) yang menyebabkan pergeseran struktur dan fungsi usus (environmental enteric dysfunction/EED). Akibatnya, kemampuan usus menyerap makanan terpengaruh sehingga pertumbuhan anak terganggu.
Dengan demikian, dukungan nutrisi konvensional yang selama ini dilakukan sebaiknya ditingkatkan secara spesifik atau personal sehingga penanganan stunting bisa dilakukan lebih holistik. Dukungan nutrisi spesisfik bisa dilakukan dengan menyediakan layanan makanan berdasarkan data biometrik, yakni hasil analisis kombinasi sampel saliva dan darah untuk mengetahui bagaimana tubuh memetabolisme makanan yang dikonsumsi.
Sumber daya manusia dan kapasitas yang dimiliki Indonesia sebenarnya mampu melakukan penelitian dasar dengan menggunakan populasi Indonesia. Penelitian seperti ini diperlukan untuk mengetahui kekhasan sindrom stunting di Indonesia sehingga menghasilkan data yang baik.
Hal yang juga menarik di bidang ilmu gizi saat ini, lanjut Prof saptawati, adalah mikrobiom. Tubuh manusia terutama saluran cerna dihuni 100 triliun jasad renik atau 10 kali lebih banyak dari jumlah sel tubuh. Diperlukan riset khusus tentang peran masing-masing zat gizi dan pangan fungsional pada ekspresi gen sejak masa kehamilan sebagai faktor predisposisi stunting.
Kesehatan mata
Selain Prof Saptawati, dikukuhkan pula dalam upacara tersebut Prof Tjahjono Darminto Gondhowiardjo sebagai guru besar ilmu kesehatan mata. Rektor UI Prof Muhammad Anis, mengatakan, Prof Saptawati dan Prof Tjahjono merupakan guru besar tetap UI ke-9 dan 10 yang dikukuhkan tahun ini. Dengan begitu, kini guru besar tetap UI ada sebanyak 223 orang. Dari jumlah itu FKUI memiliki jumlah guru besar tetap yang paling banyak, yaitu 62 orang.
Sementara dalam pidato pengukuhannya, Prof Tjahjono memaparkan, bola mata adalah organ dengan struktur unik dan rumit serta menjadi jalur utama masuknya informasi sehari-hari. Sebesar 83 persen informasi kita tangkap melalui penglihatan baru disusul pendengaran (11 persen), penciuman (3,5 persen), perabaan (1,5 persen), dan pengecap (1 persen).
Meski penglihatan penting bagi kehidupan, ternyata angka kebutaan di Indonesia menurut survei Rapid Asssessment of Avoidable Blindness 2014-2016 masih terbilang tinggi, yaitu 3 persen dari penduduk usia 50 tahun ke atas. Kebutaan akan mengakibatkan penurunan kualitas kehidupan dan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, di negara berkembang seperti Indonesia tindakan operasi pemulihan penglihatan pada pekerja produktif bisa dimasukkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan keluarga dalam prioritas dukungan pembiayaan kesehatan.
Untuk itu, dukungan dan kolaborasi lima unsur atau penta helix (pemerintah, industri, masyarakat, lembaga sosial masyarakat, perguruan tinggi, dan media) diperlukan untuk mengejar inovasi dalam pemulihan penglihatan. Akan tetapi, tantangannya adalah mengejar ketertinggalan teknologi dalam oftalmologi yang berjalan cepat di dunia. Contohnya, Inggris kini bisa membuat kornea buatan dengan sel punca dan berbagai materi biologi lainnya secara tiga dimensi.