JAKARTA, KOMPAS — Tsunami yang melanda pesisir Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) terjadi tanpa didahului gempa bumi. Dari karakteristik gelombangnya tak terbantahkan lagi bahwa ini termasuk tsunami, tetapi penyebabnya masih menjadi perdebatan. Selat Sunda sudah pernah dilanda tsunami hingga delapan kali dengan sumber beragam, bukan hanya dari gempa.
Berdasarkan data tidegauge atau alat pemantau muka air laut di Serang, gelombang tsunami tiba paling awal di Serang, yaitu pada pukul 21.27 WIB dengan ketinggian 0,9 meter. Berikutnya, di Banten tiba pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0,35 m, di Pelabuhan Panjang, Lampung, pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0,28 m.
Ahli tsunami dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Hamzah Latief, mengatakan, melihat karakteristik gelombang laut yang menghancurkan pesisir Banten dan Lampung, jelas sebagai tsunami. ”Gelombang panjang atau periode gelombang kali ini lebih besar dari gelombang angin. Dan sifatnya membesar saat mendekati pantai,” kata Hamzah, Minggu (23/12/2018).
Hamzah menjelaskan, tsunami tidak hanya bisa dipicu oleh gempa bumi. Menurut dia, tsunami terjadi karena ada daya yang menggerakkan kolom air laut, baik dari bawah maupun dari permukaan. Hal ini bisa diakibatkan oleh gempa bumi, longsor bawah laut, erupsi dan atau guguran lava gunung api, tekanan atmosfer atau meteorologi, atau terjangan benda padat di permukaan seperti longsoran tebing di permukaan laut hingga tumbukan meteor, yang membangkitkan sederatan gelombang dan membesar saat mendekat pantai.
Selama ini, gempa bumi dianggap menjadi pemicu utama tsunami, seperti terjadi di Aceh 2004, Pangandaran 2006, Mentawai 2010, hingga Palu 2018. Dalam kasus Palu, gempa diduga memicu longsoran bawah laut dan atau penurunan dasar laut yang kemudian memicu tsunami.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyatakan tidak merekam adanya gempa bumi tektonik di Selat Sunda sebelum kejadian. Demikian halnya, dari aspek meteorologi juga tidak terekam adanya badai tropis ataupun tekanan atmosfer signifikan yang bisa menjadi pemicu tsunami.
Dengan tiadanya gempa dan aspek meteorologi, penyebab tsunami di Selat Sunda kemungkinan besar akibat aktivitas Anak Krakatau. Kajian Yudhicara dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi serta K Budiono dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan-Badan Geologi tahun 2008 menemukan, keberagaman sumber tsunami di Selat Sunda. Analisis dilakukan berdasarkan katalog tsunmai Soloviev, yang menyebutkan setidaknya telah terjadi delapan kali tsunami yang terekam.
Disebutkan, dari sejumlah tsunami ini, tiga di antaranya disebabkan erupsi gunung api bawah laut Krakatau, yaitu pada tahun 416, 1883, dan 1928. Sementara tsunami yang dipicu gempa bumi terjadi pada tahun 1722, 1852, dan 1958. Penyebab lainnya, menurut Yudhicara dan Budiono, diduga akibat kegagalan lahan berupa longsoran, baik di kawasan pantai maupun di dasar laut, yaitu pada tahun 1851 dan 1889.