Fakultas Kedokteran UI Tambah Dua Guru Besar Tetap
Oleh
Adhitya Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menutup akhir tahun 2018 ini, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menambah dua guru besar tetap, yaitu Prof Saptawati Bardosono di bidang ilmu gizi kedokteran dan Prof Tjahjono Darminto Gondhowiardjo di bidang ilmu kesehatan mata. Keduanya dikukuhkan menjadi guru besar tetap oleh Rektor UI Prof Muhammad Anis di Aula Indonesian Medical Education and Research Institute FKUI, Sabtu (22/12/2018).
Prof Saptawati dan Prof Tjahjono menjadi guru besar tetap UI ke-9 dan 10 yang dikukuhkan tahun ini. Dengan demikian, kini guru besar tetap UI ada 223 orang.
Dalam pengukuhannya, Prof Saptawati membawakan pidato berjudul ”Ilmu Gizi Kedokteran di Era Disrupsi Terkait Dukungan Nutrisi Konvensional dan Spesifik: Pengentasan Sindroma Stunting dan Dampaknya pada Risiko Kardiometabolik”. Sementara pidato pengukuhan Prof Tjahjono berjudul ”Kolaborasi Penta Helix untuk Masa Depan Pendidikan Oftalmologi Indonesia di Era Disrupsi”.
Prof Saptawati mengatakan, stunting dipilih sebagai topik pidato pengukuhan karena penanganan stunting selama ini masih belum memberikan hasil yang diharapkan. ”Sejak disertasi doktor saya tahun 2003 yang mengobservasi kondisi tahun 1998 hingga disertasi mahasiswa calon doktor bimbingan saya tahun 2018 masalah stunting masih dalam proses pencarian faktor-faktor predisposisinya, belum berlanjut pada intervensi dukungan nutrisi spesifik,” kata Saptawati.
Persoalan stunting akan menjadi cerita tanpa akhir jika ditangani dengan pendekatan dukungan nutrisi konvensional tanpa melibatkan berbagai aspek gangguan metabolik yang telah terjadi sejak masa konsepsi.
Persoalan stunting akan menjadi cerita tanpa akhir jika ditangani dengan pendekatan dukungan nutrisi konvensional tanpa melibatkan berbagai aspek gangguan metabolik yang telah terjadi sejak masa konsepsi. Dukungan nutrisi konvensional telah memberikan perhatian pada perbaikan nutrisi ibu sejak 500 hari pertama kehidupan, yakni melalui pemberian zat gizi mikro ganda (suplementasi zat besi harian, suplementasi zink, kalsium, dan vitamin D). Namun, hasilnya masih bervariasi terhadap perubahan epigenetik lain.
Khusus untuk negara berkembang, seperti Indonesia, kemungkinan adanya infeksi subklinis oleh bakteri tanpa adanya diare. Karakteristik infeksi subklinis ini ditandai dengan atrofi vili usus dan inflamasi kronis usus kecil yang lebih dikenal dengan istilah environmental enteric dysfunction (EED). Dengan demikian, dukungan nutrisi konvensional yang selama ini dilakukan sebaiknya ditingkatkan secara spesifik sehingga penanganan stunting bisa dilakukan lebih holistik.
Sementara itu, Prof Tjahjono mengatakan, bola mata adalah organ dengan struktur yang unik dan rumit serta menjadi jalur utama masuknya informasi sehari-hari. Sebesar 83 persen informasi kita tangkap melalui penglihatan, baru disusul pendengaran (11 persen), penciuman (3,5 persen), perabaan (1,5 persen), dan pengecap (1 persen).
Meski penglihatan penting bagi kehidupan, ternyata angka kebutaan di Indonesia, berdasarkan survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness 2014-2016 masih terbilang tinggi, yaitu 3 persen dari penduduk usia 50 tahun ke atas. Kebutaan akan mengakibatkan penurunan kualitas kehidupan dan ekonomi keluarga.
Angka kebutaan di Indonesia berdasarkan survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness 2014-2016 masih terbilang tinggi, yaitu 3 persen dari penduduk usia 50 tahun ke atas.
Oleh karena itu, di negara berkembang, seperti Indonesia, tindakan operasi pemulihan penglihatan pada pekerja produktif bisa dimasukkan sebagai upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan kesejahteraan keluarga dalam prioritas dukungan pembiayaan kesehatan. Untuk itu, dukungan dan kolaborasi lima unsur atau penta helix (pemerintah, industri, masyarakat, lembaga sosial masyarakat, perguruan tinggi, dan juga media) sangat diperlukan untuk mengejar inovasi dalam hal pemulihan penglihatan.
Akan tetapi, tantangannya adalah mengatasi ketertinggalan teknologi dalam oftalmologi yang berjalan cepat di dunia. Sebut saja Inggris yang kini sudah bisa membuat kornea buatan dengan menggunakan sel punca dan berbagai materi biologi lainnya secara tiga dimensi.