Denuklirisasi Tergantung AS
Korea Utara kembali menuntut komitmen Amerika Serikat terkait denuklirisasi Semenanjung Korea. AS diminta ikut menyingkirkan nuklirnya dari kawasan.
Pyongyang, KAMIS Korea Utara menegaskan, komitmennya terhadap denuklirisasi akan tergantung pada manuver Amerika Serikat. Pyongyang meminta Washington juga ikut membersihkan ancaman nuklir dari kawasan.
Lewat pernyataan yang dikeluarkan pada hari Kamis (20/12/2018) melalui kantor berita resminya, KCNA, Pyongyang kembali menegaskan pentingnya komitmen bersama, bukan sepihak. ”AS harus menjelaskan makna sebenarnya dari denuklirisasi Semenanjung Korea dan belajar geografi. Saat membahas Semenanjung Korea, hal itu termasuk republik kami dan seluruh kawasan di mana AS menempatkan pasukan penyerbu, termasuk persenjataan nuklir. Saat kita membahas denuklirisasi seutuhnya Semenanjung Korea, berarti menyingkirkan semua ancaman nuklir, tidak hanya dari (Korea) Selatan dan (Korea) Utara. Namun, termasuk pula area di sekitar Semenanjung Korea,” demikian pernyataan Pyongyang itu.
Pernyataan itu merujuk pada penempatan pasukan dan persenjataan AS di Korsel dan Jepang. Padahal, AS sebenarnya sudah menarik persenjataan nuklirnya dari Korsel sejak dekade 1990-an.
KCNA menuntut AS menghentikan khayalan tentang desakan hanya Korut yang menyerahkan persenjataan nuklirnya secara sepihak lewat tekanan dan paksaan. Kantor berita itu juga meminta penghapusan sanksi. KCNA menyebut pencabutan tersebut sebagai tombol penentu untuk menunjukkan AS berkomitmen pada kesepakatan di Singapura atau tidak.
Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korut Kim Jong Un bertemu di Singapura, Juni 2018. Pertemuan itu disebut menjadi batu pijakan penting untuk denuklirisasi Semenanjung Korea.
Setelah pertemuan itu, AS-Korut menjajaki pertemuan lanjutan. Waktu pastinya belum ditetapkan. Akan tetapi, ada kemungkinan pertemuan lanjutan itu berlangsung pada 2019 di lokasi yang belum ditetapkan.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah Utusan Khusus AS untuk Korut, Stephen Biegun, menyatakan sedang mengkaji pengenduran pembatasan bepergian bagi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Korut. Pengenduran itu menjadi solusi atas kebuntuan kesepakatan nuklir Korut.
Ganggu pertemuan
Sejak Kim dan Trump bertemu, hampir tidak ada kemajuan dari kesepakatan itu. Analis menyebut pernyataan KCNA dapat berdampak pada rencana pertemuan lanjutan mereka. ”Pernyataan keras itu dapat mengindikasikan Korut tidak berniat kembali bernegosiasi dalam waktu dekat. Jelas sekali Korut berniat mempertahankan nuklirnya dan membalik proses diplomasi menjadi negosiasi pengurangan senjata dengan AS dibandingkan penyerahan satu pihak saja,” kata Shin Beomchul, analis di Asian Institute for Policy Studies, Seoul.
Selepas Kim dan Trump bertemu, Korut-AS bolak-balik bersitegang. Washington berkeras Pyongyang harus mengungkap jumlah persenjataan dan fasilitasnya secara terperinci dan diawasi. Sebaliknya, Pyongyang berkeras sanksi internasional dicabut dulu sebelum pengawasan itu.
Pyongyang berkeras persenjataan nuklirnya dibutuhkan untuk mencegah potensi serbuan oleh AS. Korut menghabiskan banyak sumber daya selama puluhan tahun untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Aneka pengembangan itu berujung pada serangkaian sanksi oleh berbagai pihak.
Terakhir, AS memasukkan tiga pejabat Korut dalam daftar sanksi. Mereka, termasuk tangan kanan Kim, Choe Ryong Hae, dijatuhi sanksi karena diduga melanggar HAM. Pyongyang mengecam tindakan itu dan menyatakan hal itu dapat menghambat upaya denuklirisasi Semenanjung Korea.
Presiden Korsel Moon Jae-in berulang kali berupaya mendinginkan situasi. Ia menyatakan Pyongyang dan Seoul terus bekerja sama untuk perdamaian di Semenanjung Korea. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan penarikan pasukan dan persenjataan di perbatasan.
(AP/AFP/RAZ)