Tata Kelola Tambang Batubara Bermasalah
JAKARTA,KOMPAS – Tata kelola tambang batubara di Indonesia masih sarat persoalan. Mulai dari tambang yang melabrak aturan, tambang yang merusak lingkungan, lubang bekas tambang yang ditinggalkan menganga tanpa direklamasi, hingga tambang yang beroperasi tanpa izin. Upaya penataan oleh pemerintah belum optimal.
Terhitung hingga September 2018, terdapat 633 tambang bermasalah di Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tambang bermasalah itu masuk dalam golongan tambang non Clear and Clean atau non-CnC.
Hasil investigasi Kompas menemukan, ada beberapa tokoh masyarakat yang berada di balik kepemilikan sejumlah tambang batubara bermasalah.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, dari 2.389 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara yang dikeluarkan pemerintah di seluruh Indonesia, hanya 1.756 IUP yang tergolong CnC atau tidak bermasalah.
Merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, tambang disebut tidak berstatus CnC karena tidak memenuhi persyaratan administratif, kewilayahan, lingkungan, dan keuangan. Tambang yang berstatus non-CnC harus diikuti dengan pencabutan izin oleh pemerintah provinsi.
Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan jumlah IUP terbanyak, yakni 998 izin. Dari jumlah tersebut, sebanyak 215 izin atau 21,54 persen di antaranya masuk Non CnC. Bahkan, data Kementerian ESDM tersebut berbeda dengan pendataan Dinas ESDM Kaltim yang menyebutkan terdapat 1.404 IUP di Kaltim dan 429 izin di antaranya tergolong IUP Non-CnC.
Namun, dari investigasi Kompas saat menelusuri sejumlah lokasi pertambangan batubara di Samarinda dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tambang yang masuk dalam kategori Clear and Clean atau CnC pun tidak menjamin bersih dari “masalah”. Sebagai gambaran, sejumlah tambang berstatus CnC masih meninggalkan lubang bekas tambang menganga yang sebagian di antaranya memakan korban jiwa.
Terdapat 32 korban tewas di lubang bekas tambang selama periode 2011 – 2018 yang semuanya ada di Kaltim. Selain itu, obral izin tambang batubara tanpa memperhatikan kondisi lingkungan dan tata ruang juga memicu persoalan lain seperti menyusutnya lahan pertanian dan bencana alam.
Baca juga : Bahaya Lubang Bekas Tambang
Pengabaian yang Berujung Petaka
Merujuk data Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kalimantan Timur, luas lahan sawah di Kaltim terus menyusut. Pada 2017, lahan pertanian seluas 94.410 hektar atau menciut 20,21 persen dibandingkan luas sawah pada 2016 yang mencapai 118.324 hektar. Penurunan luas itu terjadi sejak 2014 yang saat itu masih seluas 144.714 hektar.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai, karut marut persoalan tambang batubara di daerah tidak dapat disederhanakan hanya dengan pembuatan status CnC dan non-CnC. Sebab, dimensi persoalan tambang batubara begitu kompleks.
“Seharusnya ada moratorium pertambangan batubara secara nasional karena buruknya tata kelola dan kompleksnya masalah batubara. Perlu ada pemulihan dan rehabilitasi lingkungan hingga penegakan hukum terhadap tambang yang bermasalah,” kata Merah.
Merah menambahkan, tata kelola batubara yang semerawut juga menciptakan masalah sosial yang kompleks, seperti penggusuran, perampasan lahan, kekerasan terhadap masyarakat dan masalah lingkungan seperti limbah, polusi debu, hingga lubang tambang. Di sisi lain, masala ini juga mengindikasikan adanya korupsi. “Hanya menguntungkan segelintir orang tertentu yang terus mengakumulasi kekayaan dari masalah tambang ini,” ujar Merah.
Berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), persoalan terkait tambang batubara juga mencakup ketidakpatuhan kewajiban pajak, pembayaran jaminan reklamasi, hingga dugaan manipulasi data perdagangan batubara. "Dari kajian kita, banyak yang bolong-bolong mulai dari tatanan izin perusahaan, kewajiban pembayaran, bahkan sampai ada yang tidak punya NPWP," ujar Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.
Dari kajian KPK, banyak yang bolong-bolong mulai dari tatanan izin perusahaan, kewajiban pembayaran, bahkan sampai ada yang tidak punya NPWP
Merujuk pada kajian KPK, Wawan menambahkan, sebanyak 1.850 IUP dari seluruh komoditas tambang, termasuk batubara, tidak terindentifikasi NPWP-nya. Adapun 90 persen dari 10.432 IUP dari seluruh komoditas tambang tidak membayarkan jaminan reklamasi dan pascatambang. KPK juga menemukan adanya piutang pelaku tambang ke negara yang mencapai Rp 21 triliun.
Kesemerawutan tata kelola tambang ini berawal saat wewenang penerbitan izin tambang oleh bupati/wali kota sehingga obral izin terjadi. Program Manager Publish What You Pay (PWYP) Rizky Ananda Wulan mengatakan, obral izin IUP batubara ini membuat kepala daerah tidak lagi memprioritaskan pembangunan masyarakat. “Ketika tambang diprioritaskan masyarakat dipinggirkan. Lahan digusur. Masyarakat dipinggirkan. Itu sangat mungkin terjadi,” ucap Rizky.
Ketika tambang diprioritaskan masyarakat dipinggirkan. Lahan digusur. Masyarakat dipinggirkan. Itu sangat mungkin terjadi
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengakui, penataan IUP sudah dilakukan sejak Juli 2011. Saat itu jumlah IUP batubara mencapai 9.662 izin, dengan jumlah IUP non CnC mencapai 5.884 izin atau lebih dari setengah dari total IUP. Pada 2014 KPK ikut terlibat dengan menjalankan program koordinasi dan supervis (korsup).
Hasilnya, per 1 September 2018, IUP batubara susut menjadi 2.389 izin.“Bagi IUP yang non CnC ataupun masa berlakunya telah habis, kami meminta pemerintah daerah untuk mencabut izinnya,” ujar Wafid.
Guna melaksanakan hal itu, kementerian ESDM sudah mengirimkan surat sebanyak lima kali dalam rentang waktu 13 Januari 2017 hingga 30 April 2018. Surat itu ditujukan kepada gubernur dengan tembusan kepada KPK, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perhubungan Luat Kementerian Perhubungan. Surat-surat itu berisi penyampaian data terbaru IUP CnC dan permintaan untuk menutup IUP apabila masa berlakunya sudah berakhir atau tidak memenuhi persyaratan CnC.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Sri Raharjo mengakui, pihaknya sudah bersurat dengan kementerian dan lembaga lain seperti Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, dan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, agar tidak melayani permintaan perdagangan dari perusahaan yang memiliki IUP non-CnC dan habis masa berlakunya.
“Jadi kalau dia non-CnC tapi kalau berlaku izinnya, maka kita blokir. Blokir itu tidak dilayani. Jadi waktu itu kami kirim surat ke kemenhub, kemendag, ke KPK, pokoknya kalo dia non-CnC jangan dilayani. Otomotasi perusahaan itu tidak bisa beroperasi,” kata Sri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, semua anggotanya harus sudah mengantongi status CnC. Sebab, itu merupakan persyaratan suatu perusahaan agar bisa menjadi anggota APBI.
“Kami tidak menerima jika tidak CnC,” ucap Hendra. Saat ini APBI memiliki 96 anggota, yang terdiri dari 58 IUP dan 38 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Tokoh publik
Tidak sedikit tambang bermasalah tersebut dimiliki oleh tokoh publik. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan pejabat pemerintahan. Dari penelusuran data akta kepemilikan perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, beberapa tokoh politik duduk sebagai direktur atau komisaris di perusahaan tambang bermasalah tersebut.
Salah satu pejabat publik yang memiliki tambang bermasalah adalah Gubernur Kaltim Isran Noor. Ia tercatat sebagai komisaris sekaligus pemilik saham PT Kumala Prima Coal. Perusahaan tambang batubara yang berkedudukan di Kutai Kartanegara dengan izin eksplorasi itu berstatus non-CnC.
Saat dikonfirmasi, ia menyangkal memiliki perusahaan tersebut. Bahkan, ia menanggapi status non-CnC harus berkekuatan hukum dan diperdalam. “Saya lupa lupa juga. Itu isu saja. Kalaupun saya punya saham, tidak mungkin saya sebagai gubernur atau bupati,” kata Isran, saat ditemui di kantor Gubernur Kaltim.
Secara terpisah, Kepala Dinas ESDM Kaltim Wahyu Widhi Heranata memastikan, Pemprov Kaltim akan menutup seluruh tambang yang berstatus non-CnC sesuai dengan arahan Kementerian ESDM. Terkait dengan masih adanya tambang yang belum ditutup, dia meminta waktu. “Akan kami proses. Ini memang perlu waktu,” tutur Wahyu.
Terkait dengan perusahaan yang meninggalkan lubang bekas tambang, Wahyu mengaku terkendala regulasi untuk menindak perusahaan terkait. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang belum diikuti dengan peraturan gubernur.
Dia mengakui, banyak IUP yang dimiliki oleh pejabat publik dan orang berpengaruh. Namun, dia akan berkomitmen untuk menindak sesuai aturan. Selama 4 bulan menjabat sebagai kepala dinas, dia belum mendapat tekanan maupun intimidasi agar tidak memberikan sanksi ke salah satu tambang yang dianggap bermasalah.
Baca juga : Bencana Emas Hitam di Kalimantan
Padahal, Wafid mengatakan, Kementerian ESDM telah mengingatkan pemerintah daerah untuk segera menindak perusahaan tambang yang bermasalah. Namun, mereka tidak dapat memberi sanksi kepada pemerintah daerah yang mengabaikan. “Kami tidak dapat mengintervensi mereka karena pemerintah daerah di bawah Kementerian Dalam Negeri,” kata Wafid.
Tambang ilegal
Selain tambang resmi yang bermasalah, persoalan terkait batubara juga tak terlepas dari keberadaan tambang ilegal. Seperti diberitakan Kompas, tambang ilegal di Kaltim bahkan beroperasi di area konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Sebagian di antara tambang ilegal ini ditindak oleh Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Kalimantan.
Baca juga : Tambang Batubara Ilegal di Bukit Soeharto
Lemahnya pengawasan dan pembiaran terhadap aktivitas tambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto menyebabkan kondisi areal konservasi ini dalam kondisi kritis. Berdasarkan keterangan warga setempat, tambang batubara ilegal mulai marak sejak tahun 2005-2006. Petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah Tahura Bukit Soeharto yang berpatroli pun hanya mendiamkan saja. UPTD Tahura Bukit Soeharto berada di bawah Dinas Kehutanan Kaltim.
Kepala UPTD Tahura Bukit Soeharto Rusmadi mengungkapkan, dari total luas Tahura Bukit Soeharto yang mencapai 67 ribu hektar, sebanyak 48 ribu hektar atau 71 persen di antaranya dalam keadaan kritis dan harus direhabilitasi. Selain praktik tambang batubara ilegal, juga ada pembukaan lahan untuk permukiman dan usaha.
Dalam keterangan tertulis kepada Kompas, Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi menyebutkan, selama 3 tahun dibentuk, unit Gakkum KLHK telah menangani 551 kasus pelanggaran lingkungan yang dibawa ke pengadilan baik itu menyeret korporasi maupun perorangan. Nilai ganti rugi dan biaya pemulihan yang sudah berkekuatan hukum tetap terkait pelanggaran itu mencapai Rp 18 triliun.