JAKARTA, KOMPAS — Pergeseran mata pencarian penduduk di sebagian perkampungan di kawasan Jabodetabek mulai terjadi. Pertambahan jumlah penduduk, pola arus migrasi, dan gejala gentrifikasi menjadi sejumlah hal yang menyumbang sebagai penyebab.
Demikian seperti disarikan dari hasil awal sejumlah riset perkotaan yang dilakukan sejumlah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Selasa (18/12/2018). Mereka adalah Dwiyanti Kusumaningrum dan Irin Oktafiani dari Pusat Penelitian Kependudukan serta Syarfina Nahya Nadila, Jalu Lintang Yogiswara Anuraga, Dicky Rachmawan, dan Rusydan Fathy dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan.
Dwiyanti dan Jalu yang meneliti topik urban di Kampung Paseban, Jakarta Pusat, menemukan terjadinya gejala gentrifikasi terkait dengan perubahan ruang kota di perkampungan tersebut. Ia mengatakan, kampung yang terletak di kawasan tengah kota itu mulai berubah dengan kehadiran sejumlah tempat indekos, apartemen, dan hotel.
Lewat riset awalnya, di lokasi itu saat ini ditemukan tak kurang 50 tempat indekos, satu apartemen, dan satu hotel. Gejala gentrifikasi berupa pindahnya kepemilikan kepada orang lain dengan kelas sosial lebih tinggi diidentifikasi terjadi.
Sekalipun demikian, terdapat juga perubahan yang dilakukan warga kampung setempat terhadap bentuk bangunan. Di antaranya dilakukan dalam bentuk pembangunan tempat indekos itu tadi.
Narasi kampung, lanjut Dwi, dengan demikian berubah dari hubungan yang akrab dan guyub serta cenderung homogen antar-sesama warga kampung kini menjadi penyedia jasa tempat tinggal. Hal lain yang juga berubah adalah salah satu peran kampung dalam fungsi sebelumnya yang juga berperan sebagai pondokan.
Adapun pondokan, menurut Lia Jellinek (1991), seperti dikutip dalam Luki Budiarto (2005), merupakan konsep di mana kamar disediakan secara gratis atau tidak disewakan. Sebagai imbalannya, penghuni kamar mengerjakan pekerjaan atau memberikan jasa tertentu di rumah tangga pemilik kamar (pondokan) dan atau magang di unit bisnis yang dimiliki pemilik pondokan.
Profesor riset bidang sosiologi pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Henny Warsilah, pada hari yang sama mengatakan, konsep pondokan dapat didudukkan dengan perpangkalan atau paguyuban berdasarkan identitas etnis tertentu. Pada konsep tersebut, pendatang dari sejumlah daerah di luar Jakarta berkumpul membentuk formasi etnis tertentu berdasarkan identitas yang dimiliki sebagai awalan untuk bisa melakukan penyesuaian di Jakarta.
Pada sejumlah contoh, tambah Henny, praktik ini bernilai positif karena menjadi tempat penyesuaian budaya dan tempat kerja. Sejumlah jenis dan tempat kerja yang menjadi tempat belajar itu misalnya adalah bengkel, tempat cukur rambut, dan rumah makan.
Sementara Irin, yang melakukan riset awal di kawasan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, menemukan fakta sebagian generasi muda keluarga nelayan yang makin tercerabut dari akar budaya dan mata pencarian sebagai nelayan. Keterbatasan sumber daya yang bisa diwariskan sebagai modal kerja dan pengetahuan dari luar menjadi sebagian penyebabnya.
Irin mencontohkan, hal itu misalnya terjadi pada salah seorang respondennya yang memiliki empat anak. Pada sisi lain, respondennya yang nelayan itu hanya punya sebuah perahu bermesin untuk diwariskan sebagai alat melaut dan menangkap ikan.
Pada sisi lain, terdapat sejumlah lembaga yang mulai memberdayakan sebagian anak-anak muda di kawasan itu agar memiliki keterampilan seperti menggambar yang bisa dimanfaatkan secara ekonomis. Selain itu, termasuk sebagian keterampilan untuk bekerja sebagai buruh.
Pada satu sisi Irin melihat pemberdayaan itu berdampak positif untuk meningkatkan taraf perekonomian warga. Hal ini terutama jika mengingat bahwa waktu penangkapan yang ideal di mana ikan tersedia dalam jumlah cukup di kawasan itu tidaklah terjadi sepanjang tahun. Akan tetapi, di sisi lain, justru terbentang paradoks dan ironi berupa ancaman kemungkinan hilangnya generasi nelayan.
Apalagi, ujar Irin, jika hal itu dikaitkan dengan gagasan strategis Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menurut Irin, yang dibutuhkan segara adalah dilakukannya pemetaan potensi wilayah tangkapan ikan yang berlaku sepanjang tahun di seluruh Indonesia. Jika hal ini dilakukan, dalam waktu-waktu tertentu wilayah tangkapan ikan dapat diperluas sehingga dapat dilakukan sepanjang tahun.
Sementara Dicky dan Rusydan, yang melakukan riset di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, dan Sawangan, Depok, menemukan fakta cenderung tetapnya fenomena pedagang kaki lima sebagai salah satu wajah kemiskinan kota. Akan tetapi, di sisi lain, keberadaan pedagang kaki lima juga menjadi salah satu penopang daya hidup warga perkotaan.
Dicky dan Rusydan melihat keberadaan pedagang kaki lima terjadi secara alami menyusul pertambahan penduduk. Selain itu, migrasi penduduk dengan keahlian rendah dari desa ke kota.
Mereka menyimpulkan, migrasi ini cenderung terus terjadi sekalipun di wilayah perkotaan mereka menempati struktur sosial masyarakat di lapisan terbawah. Salah satu alasan terkuatnya adalah adanya semacam jaminan pendapatan yang dihasilkan tatkala berada di perkotaan jika dibandingkan dengan tetap berada di desa.
Sementara itu, Syarfina berfokus pada pola adaptasi sebagian warga di Semarang dalam menghadapi banjir rob dan penurunan tanah.