Optimalisasi Aset untuk Ruang Budaya
Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 merekomendasikan pemanfaatan aset publik mangkrak sebagai ruang ekspresi budaya.
JAKARTA, KOMPAS – Agenda strategis ketujuh dari Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 adalah meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan. Langkah ini diwujudkan dengan resolusi, yaitu memfungsikan aset publik yang mangkrak seperti gedung maupun fasilitas-fasilitas milik pemerintah sebagai pusat kegiatan dan ruang-ruang ekspresi kebudayaan.
Gagasan ini berawal dari banyaknya permintaan di daerah untuk pembangunan ruang-ruang budaya, mulai dari taman budaya, museum, dan sebagainya. Di sisi lain, Kementerian Keuangan memaparkan fakta bahwa banyak aset-aset pemerintah di daerah yang selama ini justru tidak terurus.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang terhimpun di 300 kabupaten/kota, terdapat 47.049 sarana dan prasarana pemerintah di bidang kebudayaan. Selain itu, ada 5.000 gedung, tanah dan aset fisik milik pemerintah yang terbengkalai.
Di 300 kabupaten/kota, terdapat 47.049 sarana dan prasarana pemerintah di bidang kebudayaan. Selain itu, ada 5.000 gedung, tanah dan aset fisik milik pemerintah yang terbengkalai.
Berkaca dari data tersebut, semakin terlihat bahwa permasalahan pokoknya bukan pada kurangnya gedung atau taman budaya karena aset-aset publik yang ada sebenarnya banyak sekali. Artinya, permasalahannya adalah kurangnya pemanfaatan ruang publik sebagai ruang budaya serta lemahnya perencanaan dan pengelolaan infrastruktur dan sarana prasarana kebudayaan sehingga akses masyarakat terhadapnya menjadi tidak optimal (buku Strategi Kebudayaan Indonesia, hal 12).
"Kementerian Keuangan mencatat begitu banyak sarana dan prasarana serta aset pemerintah yang tidak terurus. Tentu tidak semuanya cocok untuk fasilitas kebudayaan. Ini hanya contoh bahwa sebenarnya kita tidak kekurangan bangunan fisik untuk ruang-ruang budaya," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, Selasa (18/12/2018), di Jakarta.
Karena itulah, dalam resolusinya Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 memandang perlunya optimalisasi aset-aset pemerintah yang selama ini tidak berguna demi pemanfaatan keperluan kebudayaan. Selain di kota-kota, aset pemerintah lain yang perlu dioptimalkan fungsinya adalah kantor-kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri sebagai pusat-pusat kebudayaan Nusantara.
Untuk memulai resolusi ini, pemerintah akan mengidentifikasi seluruh aset yang ada, seperti gedung-gedung pemerintah yang mangkrak, balai desa, gedung kesenian, taman budaya, dan museum. Dengan biaya yang efisien dan hemat, diharapkan aset-aset publik yang ada bisa mendongkrak akses publik terhadap sarana dan prasarana kebudayaan secara signifikan.
Pemerintah akan mengidentifikasi seluruh aset yang ada, seperti gedung-gedung pemerintah yang mangkrak, balai desa, gedung kesenian, taman budaya, dan museum.
"Dengan pendekatan kebijakan ini, ibarat sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Dari sisi pelestarian jalan (khususnya yang tergolong cagar budaya) dan dari sisi pemanfaatan untuk ekonomi kreatif dan wisata juga jalan," ucapnya.
Perubahan kelembagaan
Pemanfaatan aset-aset publik yang terbengkelai membutuhkan perubahan kelembagaan yang tidak kaku dan birokratis. Selain itu, pengelolaannya mesti melibatkan komunitas-komunitas muda profesional yang memiliki ide-ide kreatif agar kegiatannya lebih hidup.
"Kami akan berkomunikasi terlebih dulu dengan Lembaga Manajemen Aset Negara di bawah Kementerian Keuangan untuk mendata seluruh aset publik dan sarana prasarana pemerintah yang ada. Aset-aset ini kebanyakan dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga perlu ada pendekatan ke BUMN-BUMN. Setelah terpetakan aset-asetnya, maka kita baru bisa hitung dengan anggaran berapa kita bisa memperluas akses masyarakat pada kebudayaan," tambahnya.
Upaya keras memperluas akses masyarakat ke ruang-ruang ekspresi kebudayaan telah dilakukan Galeri Nasional Indonesia (GNI). Sepanjang tahun 2018, GNI telah melaksanakan 32 pameran, enam kegiatan bimbingan edukasi, enam kegiatan publikasi dan kemitraan dengan total kunjungan masyarakat mencapai 274.523 orang per 1 Desember 2018.
Jumlah tersebut merupakan pengunjung pameran tetap, pameran temporer, peserta program bimbingan dan edukasi, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan kemitraan, serta peserta kunjungan kolektif. Dibandingkan dengan jumlah kunjungan GNI per 1 Desember 2017 sebanyak 254.403 orang, maka jumlah pengunjung GNI pada 2018 naik sebesar 7,9 persen.
"Dari 32 pameran, satu di antaranya merupakan pameran tetap dan 27 pameran temporer yang diselenggarakan di GNI, kemudian empat pameran temporer di luar GNI yaitu di Bandung, Surakarta, Palangka Raya, dan Aceh,” papar Kepala GNI Pustanto.
Seluruh pameran tersebut menampilkan 1.637 karya dari 801 seniman Indonesia dan mancanegara seperti Prancis, Jepang, Korea, Afghanistan, Inggris, Filipina. Medium karya yang dipamerkan bervariasi, mulai dari lukisan, patung, instalasi, komik, fotografi, keramik, grafis, fotografi, mural, sketsa, drawing, batik, relief, video art, new media (berbasis teknologi digital), hingga arsip seni rupa.
Sesuai resolusi KKI 2018, museum-museum di Indonesia juga perlu mengoptimalkan perannya sebagai pusat kegiatan dan ruang-ruang ekspresi kebudayaan. Menurut Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Fitra Arda, saat ini di seluruh Indonesia terdapat 435 museum yang dikelola pemerintah maupun swasta.
"Museum sekarang memiliki tantangan terbesar untuk bisa mengubah diri agar bisa masuk ke dunia generasi milenial. Museum sebagai lembaga pendidikan sekaligus rekreasi juga harus bisa menawarkan sesuatu yang berbeda dengan dunia maya," kata Fitra.