Perambahan liar bagaikan momok dalam upaya pelestarian hutan Sumatera yang tersisa. Mulai dari hutan dataran tinggi di Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit Tigapuluh, hingga di dataran rendah Berbak Sembilang, masalah perambahan tak henti-hentinya terus merundung.
Sampai-sampai, muncul istilah baru tersematkan pada Taman Nasional Kerinci Seblat, yang biasa disingkat TNKS, sebagai ”taman nasional kentang segar” atau ”taman nasional kol semua”. Sebab, pinggiran taman nasional itu kini telah habis digerogoti menjadi pertanian kol dan kentang, bukannya dipenuhi vegetasi hutan.
Saat mengunjungi TNKS September silam, penanaman kol dan kentang sudah tampak sepanjang mata memandang di kaki hingga lereng Gunung Kerinci, yang masuk dalam kawasan TNKS. Jika kita terus menelusuri jalur naik ke atas gunung, terdengarlah suara mesin pemotong kayu menderu-deru. Penebangan dan perambahan liar berlangsung terang-terangan.
Kepala Bidang Teknis Balai Besar TNKS Rusman menyebut, Kerinci Seblat diibaratkan kue yang dikerubungi semut. ”Jika masalah perambahan ini dibiarkan, bisa saja TNKS menjadi Taman Nasional Kopi Semua, Taman Nasional Kentang Segar, Taman Nasional Kol Semua,” ujarnya, Rabu (19/12/2018).
Ingin melepas cap negatif tersebut, Rusman menyuarakan kegelisahannya dalam acara Workshop Membangun Sinergi Para Pihak di TNKS, TNBT, dan TNBS yang Lestari dan Berkelanjutan, di Jambi, Selasa lalu. TNBT adalah Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sedangkan TNBS adalah Taman Nasional Berbak Sembilang.
Pembukaan jalan
Masalah perambahan, katanya, terkait pula dengan gencarnya usulan pembukaan jalan menembus TNKS sejak 5 hingga 10 tahun terakhir. Pembukaan jalan yang diajukan sejumlah pemerintah kabupaten dan provinsi di wilayah itu disebutnya akan semakin mempermudah akses perambahan.
”Kalau ada usulan jalan (menembus TNKS), itu disinyalir sudah ada perambahan terjadi. Jadi, hati-hati dengan usulan jalan di kawasan konservasi,” ujar Rusman.
Tak hanya di Kerinci Seblat, perambahan pun marak di ekosistem Bukit Tigapuluh. Perambahan bahkan telah memicu konflik satwa dan manusia. Sementara itu, di Taman Nasional Berbak Sembilang, yang merupakan ekosistem gambut, perambahan kerap memicu kebakaran lahan.
Rini Yuniati, koordinator Program dan Kerja Sama Balai TNBS, menyebutkan, kebakaran menjadi ancaman terbesar di kawasan TNBS. Untuk mengatasi masalah itu, pihaknya menyusun rencana pembangunan jangka menengah dan sudah membentuk beberapa desa peduli api yang juga bekerja sama dengan pihak-pihak lain.
Di antara areal yang telah diduduki masyarakat, pihaknya mengusulkan setidaknya 11.000 hektar lahan di kawasan TNBS dimasukkan dalam skema perhutanan sosial. ”Kita juga sudah melakukan penataan untuk zona-zona tradisional kemitraan konservasi. Agar pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar karena regulasi yang mengatur itu belum ada,” katanya.
Prioritas konservasi
TNKS, TNBT, dan TNBS merupakan lanskap hutan konservasi Sumatera yang masuk sebagai bagian dari 13 lanskap prioritas konservasi. Upaya penyelamatan dilakukan program pengelolaan dana hibah melalui Debt Swap for Nature Conservation, sebuah skema pengalihan utang luar negeri Pemerintah Indonesia ke Pemerintah Amerika Serikat.
Skema itu digunakan untuk mendukung upaya konservasi dan penyelamatan spesies kunci yang terancam punah di Sumatera. Dana itu dikelola TFCA-Sumatera sejak tahun 2010 untuk 13 lanskap prioritas tadi.
Direktur Program TFCA-Sumatera Samedi menyebutkan, total dana hibah sebesar 42,6 juta dollar AS sejak 2009 hingga 2023. Serapannya hingga 2018 ini terbilang masih rendah, jika dirupiahkan mencapai Rp 290 miliar. Persoalan lebih pada lemahnya mekanisme pelaporan meski kegiatan di lapangan telah berjalan dengan baik.
Pihaknya pun mendukung perhutanan sosial pada empat lanskap dengan luas 141.252 hektar. Itu tersebar di Kabupaten Solok Selatan, Solok, Kerinci, Merangin, Bungo, dan Pelalawan dalam skema hutan desa dan hutan adat. Untuk skema hutan kemasyarakatan tersebar di Kabupaten Tanggamus, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Pakpak Barat, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah, dan Kepahiyang.
Lewat perhutanan sosial, katanya, masyarakat mendapatkan pengakuan legal dalam mengelola kawasan hutan. Pihaknya juga mendorong berjalannya usaha komunitas berupa pengembangan komoditas unggulan dan perbaikan budidaya serta mendorong unit-unit pengolahan komoditas untuk mendapatkan nilai tambah. Berikutnya, dibukakan pasar bagi semua hasil produk tersebut.