JAKARTA, KOMPAS — Tempat wisata edukasi biota laut di Jakarta Utara, Sea World Ancol, bersiap melakukan riset budidaya ubur-ubur tahun depan. Jika rencana ini berjalan, Sea World Ancol bakal menjadi tempat konservasi pertama yang membudidayakan hewan itu di Indonesia.
”Kami sudah menyiapkan ini lama, sekitar setahun. SDM (sumber daya manusia) juga sudah kami latih,” ucap Vice President Sea World Ancol Rika Sudranto dalam jumpa media di Ancol, Jakarta Utara, Selasa (18/12/2018). Menurut dia, riset budidaya dimulai awal Januari 2019, diawali pada jenis blubber jellyfish dan moon jellyfish.
Laboratorium budidaya ubur-ubur nantinya tidak diperlihatkan pada pengunjung umum layaknya hewan-hewan laut yang berada di akuarium Sea World Ancol. Namun, fasilitas itu akan bisa dimanfaatkan untuk tujuan penelitian oleh pelajar dan mahasiswa yang berminat mempelajari ubur-ubur.
Pembudidayaan satwa laut oleh Sea World Ancol bukan hanya pada ubur-ubur. Sea World juga sedang menjalankan pengembangbiakan hiu bambu dan lumba-lumba.
Rika memastikan akuarium untuk laboratorium budidaya ubur-ubur terpisah dari yang untuk dua macam hewan laut tadi. Untuk ubur-ubur, terdapat delapan akuarium besar serta sejumlah akuarium kecil yang masing-masing punya fungsi berbeda-beda sesuai fase hidup ubur-ubur.
Namun, pengunjung Sea World Ancol juga bisa menyaksikan keindahan ubur-ubur secara langsung lewat wahana terbaru bernama Jellyfish Sphere. Area ini khusus menampilkan beragam jenis ubur-ubur yang ditempatkan dalam 10 akuarium, seperti blubber, spotted, upside down, sea nettle, dan moon jellyfish.
Di setiap akuarium, cahaya menyorot ubur-ubur dengan warna yang berganti-ganti, di antaranya merah, hijau, dan biru. Warna tubuh ubur-ubur pun seakan berubah-ubah.
Sea World terdorong membuat area khusus ubur-ubur karena keunikan hewan ini, yaitu tidak memiliki pancaindera, darah, dan tulang, tetapi mampu hidup, bahkan sebagian besar mampu menyengat. Rika menambahkan, beberapa waktu lalu, Ancol juga ramai diberitakan soal adanya ubur-ubur di laut dekat kawasan Pantai Ancol. Dengan demikian, Jellyfish Sphere diharapkan meningkatkan paparan informasi soal ubur-ubur kepada publik.
Dokter pendiri Indonesia Toxinology Society (ITS), Tri Maharani, berpendapat, edukasi juga mesti dibarengi dengan penguatan penanganan sengatan ubur-ubur mengingat bukan tidak mungkin Pantai Ancol kembali ”didatangi” ubur-ubur. Meski demikian, ia menyebut ubur-ubur dengan kemampuan menyengat yang muncul ke Ancol Oktober lalu tidaklah mematikan.
Salah satu hal yang mesti dilakukan pengelola Ancol adalah membuat tonggak cuka di sejumlah titik sepanjang pantai. Tonggak itu untuk menggantungkan botol atau wadah berisi cairan cuka yang bisa digunakan sewaktu-waktu ada korban sengatan ubur-ubur. ”Saya juga menyarankan agar pengunjung mengenakan baju renang tertutup,” ujar Maharani.
Ia menjelaskan, pertolongan pertama pada korban gigitan ular adalah menuangkan cuka di area yang tersengat dan didiamkan selama 30 detik. Setelah itu, tentakel ubur-ubur yang masih menempel pada kulit dilepaskan (paling baik menggunakan penjepit atau sarung tangan). Terakhir, membawa korban ke instalasi gawat darurat secepatnya. Contoh penanganan yang salah, menuangkan alkohol atau urine pada area tersengat.
Pantauan Kompas pada Selasa siang, satu papan peringatan soal ubur-ubur terpancang di Pantai Lagoon, Ancol. Tulisannya, ”Hati-hati untuk Pengunjung yang Bermain di Air/Berenang agar Menghindari Ubur-ubur”. Namun, letaknya kurang strategis dan cenderung ”tenggelam” di antara papan informasi lainnya.
Salah satu wisatawan di Pantai Lagoon, Akel (17), mengaku tidak melihat ada papan peringatan soal ubur-ubur. ”Sejauh mata memandang, tidak ada yang soal ubur-ubur,” katanya.
Namun, menurut Akel, ubur-ubur tidak terlalu berbahaya untuk wisatawan seusianya atau yang lebih dewasa karena mereka lebih mudah menghindari satwa itu. Anak-anak dinilainya lebih rentan.
Untuk tonggak cuka, Kompas tidak menemukannya di pantai tersebut.