Pengabaian yang Berujung Petaka
Mata Jumaidi (36) dan Salahsiah (31) sembab. Pasangan suami-istri itu masih hanyut dalam kesedihan usai kehilangan Nurul Huda Aulia, putri sulung mereka. Anak perempuan berusia 11 tahun itu tewas setelah terperosok dalam lubang bekas tambang, Selasa (20/11/2018) pagi.
Rumah Jumaidi dan Salahsiah yang berukuran 5 x 5 meter di Kelurahan Rapak Dalam, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, tampak sesak oleh warga yang melayat, Selasa Sore. Kerabat dan saudara bergantian datang ke rumah mereka untuk turut berdoa. “Kami mengadakan doa untuk putri kami yang baru saja meninggal,” kata Salahsiah.
Nurul meninggal usai terperosok ke dalam sebuah lubang bekas tambang batubara yang menyerupai danau kecil di atas bukit yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Dia terpeleset dan tenggelam saat membasuh kaki. Bersama lima temannya, Nurul ingin berfoto ria di dekat danau tersebut.
Dhini (13), teman korban yang melihat kejadian secara langsung, mengungkapkan, dia dan korban bersama empat teman lainnya awalnya hanya ingin olahraga pagi. Enam sekawan yang tinggal berdekatan di Kelurahan Rapak Dalam ini berangkat dari rumah masing-masing pukul 07.00 WITA.
Dalam perjalanannya, salah seorang di antara mereka memberi tahu ada kolam yang airnya berwarna hijau kebiruan di atas bukit. Kolam yang dimaksud itu adalah lubang bekas tambang batubara yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah mereka.
Sesampainya di atas bukit, sekitar pukul 08.00 WITA, mereka akhirnya berfoto-foto. Karena di sekitar danau itu berlumpur, mereka ingin mencuci kaki di danau. Saat itulah mereka terpeleset. Mereka menduga danau itu dapat dijadikan obyek wisata untuk berfoto karena tidak ada plang peringatan lubang bekas tambang.
Nurul tidak bisa menyelamatkan diri dan terperosok masuk ke dalam danau.Begitu Nurul masuk ke dalam danau, ketiga teman laki-lakinya berlari ke permukiman warga untuk meminta pertolongan. Adapun Dhini mencoba berenang ke tepi danau untuk mencari Nurul, tetapi tidak berhasil.
Beberapa menit kemudian, orangtua dan keluarga Nurul tiba di lokasi. Jumaidi, bersama tiga orang adiknya berenang mencari korban. Akhirnya setelah lebih dari 3 jam pencarian, tubuh Nurul ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa.
Jumaidi mengaku baru mengetahui di atas bukit itu terdapat kolam. Ia juga tidak tahu jika kolam itu lubang bekas galian tambang batubara. Namun, yang pasti Jumaidi menginginkan agar lubang itu ditutup saja agar tidak ada lagi korban jiwa.“Kolamnya ditutup saja. Takutnya orang pada main kesana terus tercebur lagi,” ujar Jumaidi.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang mengungkapkan, berdasarkan hasil dugaan sementara lubang bekas tambang itu adalah ilegal.“Tempat kejadian perkara itu di luar konsesi tambang yang resmi,” tutur Rupang.
Derajat keasaman (pH) air di lubang bekas tambang itu mencapai 2,76. Artinya, konsentrasinya sangat asam.“Jadi dulunya ini bekas galian batubara yang membuat logam berat lainnya juga ikut naik ke permukaan,” kata Rupang.
Nurul adalah korban ke-32 dalam rentang waktu 2011-2018 atau korban ketiga dalam sebulan terakhir yang tewas di lubang bekas tambang. Sebelum Nurul, korban lain dalam sebulan terakhir antara lain, Ari Wahyu Utomo (13) yang meninggal di Desa Bukit Raya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Minggu (4/11/2018).
Baca juga : Bencana Emas Hitam di Kalimantan
Selain itu, ada pelajar SMK Geologi Pertambangan Tenggarong, Alif Alfaroci (15) yang meninggal di lubang bekas tambang di Desa Rapak Lembur, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, Minggu (21/10).
Terus berulang
Kisah duka kehilangan anak tercinta juga pernah dialami oleh Rahmawati (41). Empat tahun silam anak keduanya, Muhammad Rayhan Saputra (10), meregang nyawa tenggelam di lubang bekas tambang batubara milik PT Graha Benua Etam (PT GBE) yang berlokasi di Kelurahan Sempaja, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda.
Almarhum Rayhan adalah korban ke-12. Mendengar kabar meninggalnya Nurul, hati dan perasaan Rahma kembali terbawa duka empat tahun silam.“Mendengar kabar ada lagi yang meninggal dunia di lubang tambang, hati saya sedih sekali,” ujar Rahma yang menyayangkan kejadian terenggutnya nyawa akibat lubang bekas tambang yang tidak direklamasi terus berulang.
Mendengar kabar ada lagi yang meninggal dunia di lubang tambang, hati saya sedih sekali
Empat tahun lalu, usai meninggalnya Rayhan, Rahma menolak pasrah. Didampingin anggota Jatam, Rahma bahkan pergi ke Jakarta untuk menemui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. “PT GBE kemudian menutup lubang itu. Tapi itu tetap tidak mengembalikan anak saya,” ujar Rahma.
Ketika dikonfirmasi, Direktur Utama PT GBE Muhaimin menolak membicarakan petaka yang pernah terjadi di lubang tambangnya. “Itu kan sudah banyak datanya di online,” ujar Muhaimin ketika ditemui di kantor GBE, Kota Samarinda, Selasa (27/11/2018).
Ia mengakui, perusahaannya sudah menutup lubang-lubang bekas tambang dan hanya menyisakan satu lubang tambang di Sempaja. Segala persoalan tambang, lanjut Muhaimin, sudah dikembalikan dan diserahkan kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim.
Kini, GBE bergerak di usaha ritel swalayan dan sub-konstruksi infrastruktur. Meskipun GBE sudah tidak lagi berkecimpung di dunia batubara, perusahaan itu masih tercatat sebagai perusahaan tambang bermasalah dengan status Non Clear & Clean dari Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral.
Abai
Berdasarkan data Jatam, terdapat 1.735 lubang bekas tambang di seluruh Kaltim. Jumlah tersebut lebih dari setengah dari jumlah lubang tambang di seluruh Indonesia yang mencapai 3.033 lubang. Namun, data tersebut berbeda dengan yang dimiliki Dinas ESDM Kalimantan Timur yang menyebutkan total jumlah lubang bekas tambang di Kaltim pada 2018 mencapai 539 lubang.
Baca juga : Tambang Batubara Ilegal di Bukit Soeharto
Rupang menjelaskan, pangkal berulangnya jatuh korban di lubang tambang adalah abainya pemerintah dan aparat dalam penegakan hukum. Tidak ada satu pun tindakan konkret yang untuk memberikan efek jera seperti pencabutan izin maupun sanksi lain kepada perusahaan.
Padahal, kata Rupang, pemerintah daerah memiliki wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada instrumen hukum yang dapat dijadikan acuan pemerintah untuk mendesak perusahaan mereklamasi lubang bekas tambang yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang serta Peraturan Daerah Kaltim Nomor 8/2013 tentang Penyelenggaran Reklamasi dan Pascatambang.
Ada instrumen hukum yang dapat dijadikan acuan pemerintah untuk mendesak perusahaan mereklamasi lubang bekas tambang
Ia menjelaskan, dari 32 kasus lubang bekas tambang yang menyebabkan korban jiwa, hanya satu yang berujung vonis pengadilan yakni kasus meninggalnya Dede Rahmad (6) dan Emaliya Raya (6) pada 24 Desember 2011. Saat itu, majelis hakim menjatuhkan vonis 2 bulan penjara dan denda Rp 1.000 kepada terdakwa.
“Namun, hal itu masih jauh dari memenuhi rasa keadilan, sebab yang dijatuhi hukuman adalah kontraktor yang tengah berjaga malam di perusahaan itu. Bukan pemegang izin atau pimpinan tertinggi dari perusahaan tersebut,” ujar Rupang.
Mantan Anggota Komite Reklamasi Kalimantan Timur Siti Kotijah mengatakan, masih banyaknya lubang tambang yang belum ditutup adalah bentuk lepas tanggung jawabnya perusahaan. Di sisi lain, pemerintah daerah juga abai untuk melakukan penegakan hukum.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Timur Wahyu Widhi mengatakan, baru sekitar 10 persen dari total seluruh lubang bekas tambang batubara di Kaltim yang direklamasi oleh perusahaan.
Ia menambahkan, penanganan kasus lubang bekas tambang saat ini masih terkendala regulasi.”Hingga kini, belum ada peraturan gubernur yang mengatur sanksi perusahaan yang mengabaikan reklamasi,” kata Wahyu.
Secara terpisah, Gubernur Kaltim Isran Noor mengaku heran dengan jatuhnya korban jiwa akibat lubang bekas tambang. “Heran juga aku. Jangan-jangan ada hantunya. Kok banyak orang korban anak-anak,” ujar Isran Noor tanpa menyinggung sanksi kepada perusahaan. Sebelumnya, Isran Noor malah menyebut adanya korban jiwa di lubang bekas tambang merupakan takdir.
Usai berbincang, kami berpamitan kepada Jumaidi dan Salahsiah dengan memandang gurat kesedihan di wajah mereka. Tanpa adanya upaya serius dari pemerintah dan perusahaan, peristiwa mengenaskan yang merenggut nyawa Nurul dan 31 orang lain dapat terjadi lagi pada siapa saja.