Ketika Gaya Eropa dan Bali Berpadu di Gereja Katedral Denpasar
Konsili Vatikan II pada tahun 1963-1966 merumuskan 16 dokumen, beberapa di antaranya berkaitan dengan arsitektur. Bangunan gereja disarankan menggunakan pola arsitektur setempat dan menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Salah satu perwujudan itu adalah Gereja Katedral Denpasar di Jalan Tukad Musi, Denpasar, Bali.
Saat menengok bangunan fisik gereja dari luar, orang awam sekali pun akan segera mengerti jika gereja Katolik ini mengadopsi gaya bangunan Bali. Warna bata merah yang mendominasi merupakan salah satu ciri khas sebagian besar bangunan pura, puri, dan rumah tinggal gaya Bali. Corak itu bersentuhan dengan gaya gotik (Eropa).
Kedua gaya arsitektur ini menjadi kesatuan elemen. Patung serta relief yang tetap menggambarkan gaya gotik dan penggunaan bahan alam untuk bangunan gaya Bali bagai menyatu seperti saling toleransi.
Wayan Eka Jaya Putra, I Nyoman Artayasa, dan I Gede Mugi Raharja dari Program Pasca-Sarjana Minat Pengkajian Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar mengulas arsitektur gereja itu. Ulasan itu dituangkan dalam tulisan ilmiah yang dimuat Jurnal Akademi ISI Denpasar Prabangkara Vol 21, 2 Desember 2017, berjudul "Kesatuan dan Warna pada Elemen Interior Gaya Gotik dan Arsitektur Bali pada Gereja Katolik Roh Kudus Katedral Denpasar".
Pada tulisan itu, ketiganya menyatakan konsep arsitekturnya berbasis pada vertikalisme. Bentuk bangunan terdiri dari susunan dan keseimbangan yang sempurna, elegan, dan mewah dengan tetap bernapaskan arsitektur lokal Bali.
Paduan kedua gaya itu terlihat, salah satunya pada warna dinding, patung, maupun ornamen gaya gotik yang lebih banyak menggunakan warna cerah (putih, krem, emas) dan gaya arsitektur Bali yang menggunakan warna alam (cokelat, merah tanah, abu-abu). Gereja Katedral mengkombinasikannya dalam satu suasana keteduhan, di luar maupun di dalam gedung.
Putu Rumawan Salain, ahli arsitektur dari Universitas Udayana, mengatakan, sejumlah bangunan masa kini mengadopsi gaya arsitektur Bali. Akan tetapi, konsep pengadopsiannya tidak murni secara utuh, seperti menampilkan dalam gaya di atap, stuktur, bahan, ornamen, atau warna. Gaya arsitektur yang murni biasanya ditemukan pada bangunan pura atau puri serta rumah-rumah warga lama.
Namun, Rumawan menjelaskan, arsitektur gaya Bali juga turut berkembang menyesuaikan kebutuhan serta zamannya. Karena, menurut dia arsitektur adalah juga wajah dinamika sosial. “Arsitektur adalah visualisasi zaman,” katanya.
Begitu pula gaya Gereja Katedral Denpasar yang dibangun pada tahun 1997 dan selesai dalam waktu lima tahun itu. Pembangunan bermula dari pemikiran Mgr Vitalis Qebarus untuk membentuk panitia pembangunan Gereja Katedral Denpasar.
Panitia pembangunan gereja pun mulai berkonsultasi dengan Frans Bambang Siswanto (pengusaha dan kontraktor) untuk bersedia menjadi ketua tim pembangunan dan pendanaan serta Prof Sulistyawati (Guru Besar Arsitektur Universitas Udayana) sebagai konsultan perencana.
Gereja yang memadukan gaya timur dan barat ini sesuai dengan sifat gereja yang informatif dan komunikatif. Kehadiran gaya arsitektur itu di tengah derasnya bangunan Bali sendiri yang belakangan tak lagi mengadopsi gaya arsitektur Bali. Gedung gereja ini dapat menjadi salah satu contoh pelestarian arsitektur Bali meski sudah berakulturasi.
Kembali ke kajian Wayan Eka Jaya Putra, I Nyoman Artayasa, dan I Gede Mugi Raharja tadi, kesatuan pada arsitektur Bali dapat dilihat pada penggunaan bahan alam (bata merah dan padas/ paras), ornamen Bali, serta simbol dari Bhuwana Agung dengan Trilokanya. Triloka terdiri dari pondasi dan lantai sebagai kaki (Bhur Loka); konstruksi vertikal (tiang dan dinding) sebagai badan (Bwah Loka); dan atap sebagai kepala (Swah Loka).
Akulturasi gaya interior ini terlihat pada ruang utamanya yang bergaya gotik dengan bahan lantai marmer dan dinding batu palimanan putih dengan ornamen Bali. Altar dan latar belakang altar dihiasi pahatan malaikat bergaya paduan Bali. Patung Bunda Maria yang tinggi di kedua sisi altar menempel pada tiang penyangga itu juga memadukan gaya Bali.
Selanjutnya, karpet pada area sirkulasi dari pintu masuk utama ke altar dimaksudkan sebagai pengarah jalan dari pintu masuk utama. Hal ini mengadopsi gaya era kolonial Belanda. Karpet juga dapat berfungsi sebagai peredam (akustik) pada area sirkulasi serta ketika ada acara dan upacara keagamaan.
Dinding sekeliling menggunakan bahan palimanan putih, kulit marmer
kasar berwarna krem dengan ornamen di bagian pilar dan atasnya bergaya gotik. Bahan palimanan putih selain mudah diukir juga memberi kesan bersih, suci, agung, sekaligus membuat ruangan lebih luas.
Pada ornamen, ukiran dekorasi bergaya gotik dengan ciri motif tumbuhan dan sejumlah binatang buas khayalan seperti singa bersayap dan rusa bersayap. Pada latar altar utama terdapat ukiran desain kayon wayang berwarna emas. Kayon ini sebagai manifestasi gunung (Tuhan Yesus) dengan penggunaan lampu LED pada bagian belakang serta lambang salib dan Yesus Kristus berwarna cokelat dari bahan kayu di depannya.
Lalu, bagian belakangnya dibuat dinding tampil berbentuk “candi kurung" dengan hiasan ornamen gaya gotik, seperti bidadari, malaikat, kepala domba, dan burung merpati. Candi kurung adalah tiang dengan kedua ujungnya bertemu membentuk sebuah kerucut. Kerucut itu simbol sebuah puncak gunung yang diyakini sebagai tempat paling suci oleh umat Hindu.
Pada eksterior bangunan, bata merah mendominasi. Hal ini sangat penting karena sesuai ketentuan sejumlah peraturan di Bali agar semua bangunan komersial dan pribadi harus bergaya Bali. Bentuk bangunan yang mencerminkan karakteristik arsitektur tradisional Bali serta bentuk dan sosok bagian-bagian bangunan harus tetap mencerminkan Tri Angga (unsur kepala/atap, unsur badan/ruang/dinding, dan unsur kaki/pondasi). Hal itu di antaranya tercakup dalam Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 25 tahun 2010.
Pada dinding kiri dan kanan terdapat jendela kaca patri bergambar cerita Bunda Maria dan Tuhan Yesus. Penggunaan kaca patri bergambar warna-warni sudah lebih dulu berkembang di gereja-gereja Eropa sejak abad ke-12 dan baru masuk ke Indonesia pada masa kolonialisme Belanda.
Ketika hari raya Natal tiba, gereja ini menjadi salah satu gereja yang banyak didatangi umat Kristiani. Tak hanya itu, setelah arsitekturnya berganti menjadi perpaduan gotik dan Bali, banyak umat mendaftarkan diri untuk mengabadikan pernikahan mereka di gereja ini.
Tak lama lagi, hari raya Natal tiba. Gereja Katedral Denpasar pun mulai berhias. Selamat Natal...