PALU, KOMPAS - Sebanyak 29 keluarga penyintas gempa bumi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, mulai menempati hunian sementara. Penempatan berikutnya dilakukan bertahap berdasar verifikasi data penerima manfaat. Gelombang pertama ini sekaligus menjadi bahan evaluasi agar layanan di huntara lebih baik.
Peresmian penempatan hunian sementara dilakukan di kompleks huntara Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu. Peresmian ditandai penyerahan kunci dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kepada perwakilan penyintas melalui Pemprov Sulteng. Acara dihadiri Kepala Harian Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian PUPR Arie Setiadi Moerwanto dan Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate.
“Penempatan ini sekaligus untuk mengevaluasi bagaimana respons penghuni. Tujuannya agar mereka terlayani lebih baik,” kata Arie di Palu, Sulteng, Senin (17/12/2018).
Rencananya, 669 unit huntara ditempati paling lambat akhir Desember. Total huntara yang perlu dibangun 1.200 unit untuk 14.400 keluarga.
Hal-hal yang akan dievaluasi termasuk fasilitas di huntara, mulai air bersih, listrik, dan fasilitas lain seperti pos kesehatan dan ruang publik bagi anak-anak. Di sejumlah kluster atau kompleks huntara, pada tahap awal ini, air bersih disediakan menggunakan mobil tangki. Selanjutnya, air bersih disediakan melalui pembangunan sumur.
Untuk kelancaran evaluasi, penghuni setiap kompleks atau kluster huntara dipimpin seorang ketua atau koordinator. Tugasnya menampung keluhan atau kekurangan demi perbaikan.
Secara keseluruhan, total huntara yang rampung hingga minggu ketiga Desember sebanyak 139 unit dari 669 unit untuk pembangunan tahap pertama. Huntara siap huni itu tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, tiga daerah terdampak gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018. Di kluster Silae, ada 10 unit huntara. Namun, baru 29 keluarga yang siap menempati setiap bilik. Data jumlah keluarga itu berdasar verifikasi kelurahan dengan Kementerian PUPR.
Setiap unit huntara terdiri atas 12 bilik. Bilik setiap keluarga berukuran 3,6 meter x 4,8 meter dilengkapi satu kipas angin gantung dan lampu listrik. Ada juga satu jendela dan ventilasi di dekat atap. Lampu listrik juga menggantung di bagian depan setiap bilik. Setiap unit dilengkapi dua tangki air bersih.
Untuk pemenuhan kebutuhan penghuni, setiap unit dilengkapi empat kamar mandi, empat kamar kecil, satu dapur umum, dan satu tempat cuci.
Unit huntara dibangun berbentuk panggung dengan lantai dan dinding dari papan lapis. Adapun bagian kamar mandi, kamar kecil dan dapur, serta tempat cuci dan lantainya dari beton.
Rencana selanjutnya
Seluruh huntara dibangun setidaknya untuk 1,5 tahun hingga 2 tahun ke depan, sebelum dibangun hunian tetap. Rencananya, 669 unit huntara ditempati paling lambat akhir Desember. Total huntara yang perlu dibangun 1.200 unit untuk 14.400 keluarga. Pemerintah Provinsi Sulteng membantu penghuni huntara dengan memberi kasur, kompor dan tabung gas, serta beras 5 kilogram.
Bentuk evaluasi lain, kata Hidayat, memastikan siapa penghuni huntara. Berbagai pemangku kepentingan masih memvalidasi data agar peruntukan huntara tepat sasaran. “Yang berhak menghuni adalah penyintas yang rumahnya tidak bisa dihuni lagi, mereka yang terkena tsunami dan likuefaksi,” kata dia.
Terkait permintaan warga dengan anggota keluarga besar untuk menempati lebih dari satu bilik, Hidayat tak bisa memenuhi. Konsep awal, satu unit huntara untuk satu keluarga, tak bergantung jumlah anggota keluarga.
Di sejumlah titik, warga kembali membangun huntara mandiri di lokasi jejak tsunami. Itu terlihat di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara. Hidayat menyatakan ada kemungkinan mereka tidak perlu masuk huntara kolektif. Dengan bantuan lembaga nonpemerintah, mereka bisa membangun huntara di dekat lokasi bekas rumah mereka.
Zuniar (39), penyintas di huntara Silae menyatakan, ia berterimakasih kepada pemerintah atas selesainya pembangunan. “Saya tidak mau sibuk dengan berbagai pertimbangan kekurangan huntara. Yang terpenting saya menempati dulu,” ujarnya. Zuniar kehilangan rumah dan bengkelnya, disapu tsunami di pinggir Teluk Palu.