Generasi Muda Tak Terpapar Informasi HIV yang Benar
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Masih banyak generasi muda yang tidak terpapar informasi yang benar soal HIV/AIDS. Akibatnya, mereka memiliki pemahaman keliru tentang penyakit infeksi ini. Padahal, generasi muda terutama yang perilakunya berisiko sangat rentan terinfeksi HIV.
Saat peluncuran aplikasi Tanya Marlo di Jakarta, Selasa (18/12/2018), Ketua Tim Peduli AIDS Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Ilona, mengatakan, banyak mahasiswa menolak ketika diberi selebaran berisi informasi tentang HIV/AIDS. Mereka menganggap beban HIV/AIDS sudah rendah dan kasusnya bisa dikendalikan sepenuhnya.
Selain itu, anak muda kerap menganggap dirinya dan kehidupannya jauh dari risiko infeksi HIV sehingga abai dan menolak saat diberi informasi. "Mereka tidak sadar bahwa mereka memiliki hak mendapatkan informasi benar tentang HIV/AIDS. Dengan begitu mereka bisa mencegah terinfeksi HIV," kata Ilona.
Psikolog Inez Kristanti menambahkan, banyak orang masih menilai HIV adalah penyakit orang nakal atau akibat dari pergaulan tidak benar. Karena itu generasi muda merasa kehidupan mereka jauh dari risiko. Pemahaman itu keliru. Fakta di lapangan menunjukkan, infeksi HIV tidak hanya banyak terjadi pada populasi kunci. Ibu rumah tangga sekalipun banyak yang terinfeksi HIV.
Enggan tes HIV
Minimnya pemahaman generasi muda terhadap HIV/AIDS juga membuat mereka tidak mau menjalani tes HIV. Mereka takut jika memang positif harus mengambil langkah apa. Sebagian anak muda menilai status HIV positif sebagai hukuman mati. Padahal, dengan pengobatan secara teratur, orang dengan HIV positif tetap sehat dan bisa produktif seperti orang kebanyakan.
Direktur UNAIDS Indonesia Krittayawan Boonto, mengatakan, dari estimasi orang dengan HIV positif di Indonesia sebanyak 640.000 orang, 30-40 persennya merupakan anak muda. Pihak UNAIDS memperkirakan sekitar 50.000 kasus infeksi baru HIV setiap tahun di Indonesia, dan separuhnya berasal dari kelompok usia 15-24 tahun.
Ilona menyebutkan, satu hal lagi yang menjadi tantangan terbesar selama ini adalah stigma dan diskriminasi. Bahkan, ada tenaga kesehatan menstigma orang dengan HIV positif, bahkan mereka yang akan melakukan tes HIV. "Masih ada petugas kesehatan yang tanya memangnya kamu ngapain aja, kok, tes HIV. Kalau ditanya begitu, anak muda pasti males melakukan tes," tutur Ilona.
Masih ada petugas kesehatan yang tanya memangnya kamu ngapain aja, kok, tes HIV. Kalau ditanya begitu, anak muda pasti males melakukan tes.
Untuk itu, lanjut Tina, aplikasi Tanya Marlo dibuat oleh UNAIDS agar generasi muda bisa mendapat informasi benar seputar HIV/AIDS. Bahkan, melalui chatbot berbasis media sosial pertemanan Line ini pun anak muda bisa mengatur jadwal tes HIV di fasilitas kesehatan yang direkomendasikan. Selain itu, aplikasi ini menyediakan fitur konsultasi dengan konselor.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, dalam sambutan tertulisnya, menyatakan, stigma dan diskriminasi selama ini menjadi tantangan terbesar penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai nol infeksi baru, nol kematian akibat HIV/AIDS, dan nol diskriminasi. Hal ini bisa dicapai jika 90 persen mereka yang berperilaku berisiko mengetahui status HIV-nya, 90 persen dari yang tahu statusnya menjalani pengobatan, dan 90 persen dari yang menjalani pengobatan jumlah virus dalam tubuhnya tak terdeteksi lagi.
Saat ini dari 640.000 estimasi orang dengan HIV positif baru 47 persennya yang mengetahui statusnya. Dari jumlah itu pun baru sekitar 15 persen yang menjalani pengobatan. Penyebaran HIV pun masih terbuka luas.