PALEMBANG, KOMPAS — Dalam lima hari terakhir, harga ayam potong di Palembang, Sumatera Selatan, mengalami kenaikan. Sejumlah pedagang memprediksi harga daging ayam bisa mencapai Rp 40.000 per kilogram pada tahun baru mendatang. Apabila harga semakin tidak terkendali, pemerintah akan melakukan operasi pasar.
Pantauan di Pasar Perumnas Palembang, Senin (17/12/2018), harga daging ayam saat ini mencapai Rp 33.000 per kg, naik dari lima hari yang lalu sekitar Rp 28.000. ”Kenaikan harga terjadi secara bertahap. Saya khawatir pada tahun baru harga daging ayam bisa mencapai Rp 40.000 per kg, sama seperti Idul Fitri lalu,” ujar Badri Ali (49), pedagang.
Badri mengatakan, kenaikan harga terpaksa ia tempuh lantaran harga di agen sudah naik. ”Kalau kami tidak menaikkan harga, kami akan mengalami kerugian,” ujarnya.
Akibat kenaikan harga ini, Badri harus mengalami penurunan penjualan. Biasanya, dalam satu hari dia bisa menghabiskan 100 kg daging ayam. Namun, dalam dua hari terakhir, dia hanya mampu menjual 70 kg daging ayam.
Badri mengatakan, kenaikan harga ini selalu rutin terjadi setiap tahun. Ada tiga momen saat harga ayam selalu melejit, yakni Idul Fitri, Idul Adha, dan tahun baru. ”Mungkin karena banyaknya permintaan sehingga harga ayam naik,” ujarnya.
Kepala Dinas Perdagangan Sumsel Yustianus mengatakan, kenaikan harga menjelang hari raya itu lumrah terjadi. Namun, khusus untuk daging ayam, pihaknya masih menoleransi kenaikan harga hingga Rp 33.000 per kg.
Yustianus mengatakan, menjelang hari raya, harga telur ayam dan daging ayam sangat rentan naik. Namun, ada harga indikasi yang masih bisa ditoleransi. Untuk harga indikasi daging ayam sekitar Rp 32.000 per kg. Adapun harga di pasar saat ini Rp 30.000-Rp 33.000 per kg.
Adapun untuk telur ayam, harga indikasi tidak boleh lebih dari Rp 22.000 per kg. Apabila harga kedua komoditas itu mengalami kenaikan yang jauh dari harga indikasi, tentu akan dilakukan tindakan. Salah satunya dengan operasi pasar melibatkan instansi terkait.
Yustianus mengatakan, kenaikan harga daging ayam dan telur jelang hari raya karena faktor psikologis akibat perkiraan akan naiknya permintaan. Hal itu memicu pedagang menaikkan harga.
Hanya saja, ujar Yustianus, pihaknya berharap agar kenaikan harga tidak terlalu tinggi sehingga menyulitkan konsumen. ”Jangan sampai harga daging ayam seperti saat Idul Fitri lalu, yakni mencapai Rp 40.000 per kg. Itu sudah tidak masuk akal,” katanya.
Selain faktor psikologis, kenaikan harga komoditas juga dipengaruhi oleh kelancaran distribusi dan faktor cuaca. Kondisi cuaca tentu akan memengaruhi jalur distribusi. Jika ada bencana yang menghambat distribusi, tentu akan memengaruhi pasokan barang di pasar. ”Jika distribusi terhambat, pasokan barang juga akan berkurang. Dampaknya, harga akan meningkat,” katanya.
Beruntung, saat ini tidak ada bencana yang menghambat penyaluran distribusi sehingga harga daging ayam masih terkendali. Yustianus mengatakan, selama ini Palembang memasok daging ayam dari sejumlah daerah di Sumsel, seperti Kabupaten Ogan Ilir, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir.
Makanan berbahaya
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Palembang melakukan pemeriksaan barang di sejumlah pusat perbelanjaan. Hasilnya ditemukan sejumlah bahan makanan yang mengandung formalin.
Masyarakat pun diminta lebih waspada dalam membeli barang jelang akhir tahun. Hal itu disebabkan biasanya pemasok akan melakukan cuci gudang sehingga barang yang tidak layak sangat riskan masuk ke pasaran.
Hal ini disampaikan Kepala BBPOM di Palembang Hardaningsih saat memeriksa sejumlah makanan di dua pusat perbelanjaan besar di Palembang. Makanan yang ditemukan mengandung formalin adalah tahu olahan. Adapun untuk makanan lain tidak ditemukan kandungan berbahaya.
Hardaningsih mengatakan, dari sejumlah temuan, tahu dan mi kuning merupakan barang yang rentan mengandung bahan berbahaya. Karena itu, sosialisasi dan pengawasan akan terus dilakukan.
Hardaningsih mengatakan, saat ini BBPOM sudah menemukan bahan yang bisa digunakan sebagai pengawet makanan penganti formalin atau boraks. Bahan itu bernama palata. Palata mengandung ekstrak pisang dan lebih aman dijadikan pengawet makanan. Proses sosialisasi terus dilakukan agar semua pihak menggunakan palata sebagai pengawet makanan yang lebih aman dikonsumsi.