Dari Kue Coklat hingga Bitcoin
Peredaran narkoba jenis zat psikoaktif baru (new psychoactive substance/NPS) di masyarakat menjadi ancaman serius. Oplosan narkotika yang belum terdaftar dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika memberi peluang bagi bandar untuk terus mengedarkannya.
Pada Rabu (12/12/2018) kemarin, Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan mengungkap penggunaan NPS yang belum terdaftar dalam regulasi. Hal ini membuat tersangka RN dan DM tidak dapat dikenai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
”Zat kimia itu ditemukan dalam cookies atau kepingan kue pipih ukuran kecil. Hasil pengecekan di laboratorium Polri, cookies tersebut negatif mengandung narkotika,” kata Kepala Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Polisi Vivick Tjangkung di Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Lebih lanjut, Vivick mengatakan, meski negatif mengandung narkotika, cookies tersebut mengandung zat kimia, 5 flouro-MDMB-PICA, yang sebenarnya dalam persiapan untuk masuk ke UU Narkotika golongan baru. Namun, aturan tersebut baru akan dikeluarkan pada tahun 2019.
Dalam kasus ini, polisi menyita barang bukti berupa cookies sebanyak 34 plastik klip kecil berisi satu kepingan kue dan satu plastik ukuran besar berisi 244 kepingan kue. Vivick menyampaikan, cookies tersebut telah dikirim ke Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk pengecekan menyeluruh.
Meski tidak dapat dijerat dengan UU Narkotika, Vivick menegaskan, kedua tersangka yang merupakan mahasiswa tingkat akhir akan dikenai UU Pangan. ”Mereka dapat dikenai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam Pasal 140, ancaman pidana penjara maksimal selama dua tahun atau denda paling banyak Rp 4 miliar,” katanya.
Vivick menjelaskan, tersangka RN yang mendapat modal dari DM mengaku memproduksi 1.000 cookies yang telah dijual sekitar 700 keping. RN menjualnya kepada teman-teman di kampus dan komunitasnya dengan harga Rp 100.000 per keping.
Tersangka RN membeli 5 flouro-MDMB-PICA melalui dalam jaringan (daring) yang diimpor dari China dan dibayar menggunakan Bitcoin. Menurut Vivick, RN membeli zat kimia berupa tepung tersebut sebanyak 4 ons untuk membuat 1.000 cookies.
”Ketika diinterogasi, RN mengatakan, dirinya menjual cookies sudah sekitar 2 bulan. Penjualan terus dilakukan karena banyak yang mencarinya dan untungnya besar. Dalam hal ini, RN merasa dapat menciptakan sesuatu yang dibutuhkan orang lain,” kata Vivick.
Ia mengatakan, lemahnya regulasi membuat para bandar dan pengedar bergerak lebih maju dibandingkan pemerintah. Keadaan ini membuat peredaran narkoba di Indonesia terus terjadi. ”Semua tergantung pemerintah, bagaimana mengatur cepat tidaknya NPS masuk ke penggolongan baru,” ucapnya.
Hal senada disampaikan Kepala Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Erick Frendriz. Menurut dia, lemahnya regulasi juga turut meningkatkan potensi pasar narkoba di Indonesia.
”Sebab, bandar dan pengedar akan mengambil peluang untuk memperoleh untung besar dengan waktu singkat. Misalnya, sabu yang modal per kilogram mencapai Rp 300 juta-Rp 400 juta dapat dijual dengan harga Rp 1,5 juta per gram. Keuntungannya bisa mencapai Rp 1 miliar,” kata Erick.
Data Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) hingga akhir 2017 menunjukkan, jumlah NPS mencapai lebih dari 800 jenis yang dilaporkan 110 negara dan teritori. Sementara peredaran NPS di Indonesia, menurut Badan Narkotika Nasional, hingga Februari 2018 ada 71 jenis NPS yang beredar.
Secara regulasi, dari 71 jenis NPS, ada enam jenis yang belum diatur sebagai narkotika dalam Permenkes Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Belum adanya aturan membuat para pelaku terbebas dari ancaman UU Narkotika.
Transaksi daring
Tren peredaran narkoba saat ini tidak hanya berpusat di tempat hiburan. Erick mengatakan, para pengguna narkoba saat ini cenderung menghindari penggunaan di tempat hiburan karena mengetahui akan adanya razia.
”Saat ini mereka lebih memilih menggunakan narkoba di rumah atau di lahan kosong. Setelah selesai menggunakan, mereka baru akan pergi ke tempat hiburan. Maka, ketika razia, kami selalu memeriksa urine,” ujar Erick.
Hingga November 2018, Polres Metro Jakarta Barat tercatat sudah menangkap 1.414 tersangka. Dari penangkapan, polisi menyita barang bukti berupa 1.320 kilogram ganja, 88,1 kilogram sabu, 4 kilogram tembakau gorilla, 38.920 pil ekstasi, dan 10.000 psikotropika lain, seperti obat penenang yang masuk golongan narkoba.
Dalam kurun waktu yang sama, Polres Metro Jakarta Selatan tercatat telah menangkap 484 tersangka narkoba. Dari penangkapan, polisi menyita 15,2 kilogram ganja, 1,7 kilogram sabu, 3,6 kilogram ekstasi, dan 283,09 gram pil epilon.
Selain itu, Vivick juga menjelaskan, modus peredaran narkoba juga tidak lagi menggunakan cara lama dengan membelinya secara tatap muka. Saat ini, mereka, penjual dan pembeli, bertransaksi narkoba melalui daring.
”Kami sudah punya bukti penjualan-penjualan melalui daring, termasuk tembakau gorilla. Para tersangka yang kami tangkap mengaku membelinya lewat daring. Ini yang menjadi tantangan kami karena harus menyidik lewat siber,” kata Vivick.
Lebih lanjut, Vivick menjelaskan, ketika bertransaksi, penjual dan pembeli menggunakan kode-kode tertentu yang hanya diketahui mereka. ”Kami belum dapat bagaimana menangkap transaksi narkoba yang melalui daring. Namun, kami terus berusaha agar dapat masuk dan menghentikan jaringan itu,” katanya. (SHARON PATRICIA)