PALU, KOMPAS — Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kota Palu meresmikan penempatan pertama hunian sementara untuk penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi. Sebanyak 136 unit huntara siap dihuni penyintas.
Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto mengatakan, peresmian dilakukan di kompleks huntara Kelurahan Silae, Kecamatan Palu Barat. ”Kami menyiapkan 136 huntara, tetapi yang mulai ditempati 120 unit,” kata Arie di Palu, Minggu (16/12/2018).
Selain di Silae, huntara yang sudah bisa ditempati penyintas tersebar di Kelurahan Petobo dan Gawalise. Huntara itu merupakan gelombang pertama dari pembangunan huntara tahap pertama yang dilakukan Kementerian PUPR.
Pada tahap pertama, 669 unit huntara dibangun dan ditempati paling lambat akhir Desember 2018. Total huntara yang direncanakan dibangun Kementerian PUPR sebanyak 1.200 unit. Adapun sisanya dibangun pada awal 2019.
Setiap unit huntara terdiri atas 12 bilik yang berukuran 3,6 meter x 4,8 meter. Satu bilik ditempati satu keluarga. Di bilik ada satu kipas angin dan lampu listrik. Selain itu, ada masing-masing satu jendela dan ventilasi di dekat atap.
Setiap unit memiliki 6 kamar mandi, 6 toilet, serta masing-masing 1 dapur dan kamar cuci. Huntara berbentuk panggung, tetapi lantai papannya tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah. Setiap huntara juga dilengkapi 1 tangki air bersih.
Potensi masalah
Huntara ditempati penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi pada 28 September 2018. Para penyintas yang rumahnya hilang atau rusak berat akan menempati huntara selama 1,5 tahun sambil menunggu pembangunan hunian tetap.
Namun, sejumlah kendala berpotensi dialami penghuni huntara. Untuk air bersih, misalnya, pemenuhan kebutuhan itu berpotensi menimbulkan masalah mengingat hanya terdapat satu tangki air di setiap unit yang dihuni 12 keluarga. ”Meskipun belum kami tempati, pasti ini menjadi masalah nanti. Air ini penting,” kata Nova (43), penyintas di kompleks Huntara Petobo.
Masalah lainnya adalah banyak penyintas yang enggan menempati huntara. Penyintas di Kelurahan Mamboro Induk, Kecamatan Palu Utara, misalnya, belum terpikir menempati huntara. Novita (36), penyintas, mengatakan, lokasi huntara cukup jauh dari lokasi rumah mereka sebelum bencana. Jaraknya sekitar 0,5 kilometer. ”Saya belum berpikir tinggal di huntara. Kami mau cari nafkah di sekitar sini,” kata Novita.
Lokasi hunian lama Novita terletak persis di pinggir pantai Teluk Palu. Daerah itu tersapu bersih oleh tsunami. Namun, warga kembali menempati lokasi itu dengan membangun hunian sementara secara mandiri dan bantuan dari lembaga sosial. Novita menyatakan, dirinya bertahan di lokasi yang hancur itu karena ingin membangun usaha berupa warung makan.