Tuai Untung dari "Buff" Pengojek Daring
Selagi menunggu klien di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, untuk mengambil barang yang dibawanya, Kamis (13/12/2018), Kiki (32), pengojek mitra Go-Jek, mengenakan atribut lengkap. Selain helm, jaket berlogo aplikator, dan sepatu, ia juga mengenakan sepasang sarung tangan serta kain berbentuk tabung yang dikalungkan di leher. Dikenal sebagai buff, kain serbaguna itu difungsikan sebagai masker sekaligus penutup kepala.
“Kalau buat saya, buff ini buat melindungi (pernapasan) dari debu dan mengatasi bau mulut. Terus, juga buat melindungi tengkuk dari panas matahari,” kata Kiki. Sarung tangannya juga berfungsi menangkis panas matahari yang dapat membuat kulit tangan terbakar.
Ponsel pintar para pengojek daring juga menjadi kebutuhan utama untuk menerima pesanan, berkomunikasi dengan pelanggan, serta navigasi sehingga harus senantiasa aktif. Karena itu, pengendara Yamaha Aerox itu selalu membawa kabel data sebagai penyalur daya listrik. Ponselnya pun dibungkus dalam tas plastik transparan sehingga tetap dapat digunakan jika hujan turun.
Rian (31), pengojek mitra Grab, berpenampilan serupa saat sedang ngetem di Jalan Jatibaru Bengkel, Jakarta Pusat. Menurut dia, buff dapat melindunginya dari debu yang dibawa truk-truk besar ketika berjibaku di jalanan Ibu Kota. “Saya punya tiga buat ganti-ganti tiap hari,” kata dia.
Dalam sehari, ia bisa mengojek lebih dari 12 jam, mulai 06.00 WIB hingga 22.00 WIB. Karena itu, kabel data dan bank daya (power bank) sudah mutlak dibawanya setiap waktu.
Untuk memudahkan navigasi, Rian pernah menggunakan karet yang ditempelkan di sisi belakang ponsel sehingga dapat ditempelkan di layer spidometer sepeda motor. Karet itu populer dengan sebutan ‘gurita’. “Tapi saya udah enggak pakai, soalnya HP saya pernah lepas dan jatuh ke jalan. Untung enggak kelindas,” kata dia.
Kehadiran perusahaan aplikator ojek daring di mencerminkan proses destruksi kreatif yang dicetuskan ekonom Austria Joseph Schumpeter pada 1942. Proses ini praktis menyisihkan para pengojek konvensional dari persaingan jasa angkutan di Ibu Kota. Namun, kebutuhan-kebutuhan pengojek daring purna waktu membuktikan terbukanya lahan baru untuk menggali laba. Apalagi, meski belum diketahui pasti, jumlah pengojek daring kian meningkat.
Ade (35) adalah salah satu yang paling awal mencoba peruntungannya di lahan itu. Lelah mengojek sebagai mitra Grab, ia memutuskan berhenti dan berdagang kebutuhan-kebutuhan pengojek. Aneka dagangannya meliputi buff, sarung tangan, tas plastik ponsel, ‘gurita’, dan jas hujan plastik. Semua dagangannya digantung pada rangka dari kayu dan diletakkan melintang di trotoar Jalan Jatibaru Raya, Jakarta Pusat.
“Saya jual buff Rp 5.000 per biji soalnya di Jalan KH Mas Mansur harganya juga segitu. Kalau saya jual Rp 7.000, ntar semuanya pada ke sono,” ujar Ade. Adapun sarung tangan dijualnya seharga Rp 10.000 per pasang.
Menurut dia, barang yang paling laris adalah buff yang sangat populer di kalangan pengojek daring. Ini sesuai dengan pengamatan di Jalan Jatibaru Bengkel, tempat puluhan pengojek daring berjajar menunggu penumpang.
Semua barang yang dijajakannya diperoleh dari Pasar Pagi Asemka, Jakarta Barat. Dari selisih harga Rp 2.000-Rp 3.000, ia dapat meraup laba bersih Rp 10.000 per hari. Menurut Ade, pendapatan itu tidak jauh berbeda dari saat mengojek. Kompensasi yang didapatkannya adalah tidak perlu lelah menyetir sepeda motor.
Dasrintu Aritonang (28), menggelar lapaknya di trotoar Jalan Tentara Pelajar, di arah menuju Stasiun Palmerah. Buff dan sarung tangan diletakkannya di atas trotoar beralaskan terpal, sementara rangka kayu dipakai untuk menggantung masker dan ‘gurita’. Sama dengan Takim, ia menjual dua buff maupun dua pasang sarung tangan seharga Rp 15.000.
Adapun satu kantong berisi 10 masker dihargainya Rp 10.000. Semua barang dagangannya juga dibeli dari Pasar Pagi Asemka.
Dalam waktu 10 menit, lima pengojek datang melihat-lihat dagangannya, kemudian membeli buff, sarung tangan, dan masker. “Yang paling laku sih buff, warna hitam soalnya enggak kelihatan kalau kotor,” ujar pria asal Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu.
Dalam sehari, Dasrintu juga bisa memperoleh keuntungan Rp 100.000 meskipun peminat ‘gurita’ semakin sedikit. Sebelum berdagang kebutuhan pengojek daring selama delapan bulan terakhir, ia menjadi pedagang asongan minuman.
Takim (26) juga baru saja beralih profesi dari karyawan menjadi pedagang buff, masker, dan barang-barang lain yang lazim dipakai pengojek daring. Ia berdesakan dengan pedagang gorengan dan pedagang minuman lainnya di bawah beberapa payung. Mereka berjualan di pintu gerbang pagar Stasiun Tanah Abang.
Menurut dia, keuntungan dalam sehari bisa mencapai Rp 50.000-Rp 60.000. “Lebih sedikit dari gaji tahun lalu pas masih jadi karyawan. Tapi setidaknya bisa bebas, enggak terikat,” kata Takim yang juga berjualan kabel data dan pengisi daya ponsel.
Masalah
Terbukanya lahan laba ini tidak berarti tanpa disusul masalah. Para pedagang spesialis kebutuhan pengojek itu tidak memiliki tempat sendiri untuk melapak. Akibatnya, mereka kerap menjadi target operasi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Selama dua tahun berdagang, sudah lima kali dagangan Ade diangkut dan disita. Penyitaan terakhir kira-kira enam bulan yang lalu. Ia pun harus menebus barang dagangannya seharga Rp 500.000 di gudnag penyimpanan hasil operasi penertiban Satpol PP di Cakung, Jakarta Timur. Kendati begitu, ia tetap berjualan di tempat yang sama.
“Mereka (Satpol PP) selalu datang pas masih siang. Makanya, saya baru bisa buka mulai sore saat warung-warung sebelah mulai buka. Kalau udah sore enggak mungkin kena operasi. Mau gimana lagi, Namanya enggak punya tempat,” kata Ade.
Di lain pihak, Dasrintu belum pernah terciduk Satpol PP. Menurut dia, dagangannya saat ini mudah dibersekan jika sewaktu-waktu ada operasi. Selain karena banyak pengojek yang sering nongkrong di pos ronda dekat Stasiun Palmerah, kepraktisan ini yang membuatnya beralih dari menjajakan minuman. Sebab, dia harus membawa gerobak besar.
“Saya males dagang minuman lagi karena dulu sering kena Satpol PP. Biasanya mereka datang dua kali seminggu, tiap Senin dan Kamis, tapi perkiraan saya sering meleset juga. Kalau sekarang, kan, gampang diberesin,” kata Dasrintu.
Inovasi ojek daring memang mematikan peluang ojek konvensional. Di sisi lain, hasil inovasi itu juga membuka jendela peluang meraih untung bagi warga Ibu Kota. Namun, bukan berarti semuanya bisa bebas masalah. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)