KATOWICE, KOMPAS — Penutupan Konferensi Internasional Perubahan Iklim Ke-24 atau COP 24 untuk keempat kalinya diundur. Informasi dari Sekretariat Delegasi Indonesia di Spodek Arena Katowice, Polandia, tempat acara digelar, menyebutkan, penutupan konferensi dijadwalkan ulang pada Sabtu (15/12/2018) pukul 17.00 waktu setempat atau pukul 23.00 WIB. Adapun jadwal semula penutupan dilaksanakan pada Jumat, 14 Desember.
”Sejak Kamis semua delegasi COP 24 berharap cemas menunggu Draft Text Decision dari Presiden COP 24 yang akan berubah nama menjadi Katowice Rules Book yang akan disepakati oleh 197 negara,” ujar Nur Masripatin, Ketua Tim Negosiator Delegasi Republik Indonesia, lewat pesan di aplikasi ponsel, Sabtu malam.
Draf versi terakhir yang diterima delegasi berjumlah 140 halaman, terdiri dari tiga bagian, yaitu keputusan CMA dan CMP serta annex yang menjelaskan detail teknis pelaksanaan Kesepakatan Paris. Namun, dalam teks tersebut, masih ada materi yang diperdebatkan atau belum disepakati dan harus diselesaikan pada tingkat menteri. Hal inilah yang menyebabkan President COP 24 Michal Kurtyka dari Polandia mengundur waktu penutupan COP hingga empat kali.
Alotnya negosiasi di tingkat menteri dalam menyelesaikan draf teks Presiden COP, lanjut Nur yang juga National Focal Point Indonesia untuk UNFCCC, karena terkait dengan pasal tentang ”Diferensiasi” (perbedaan) dan ”Equity” (kesamaan) dalam draf tersebut. Hal ini terkait dengan hak dan tanggung jawab antara negara maju dan negara berkembang yang tidak disepakati.
Kedua hal tersebut terkait dengan penerapan prinsip dari konvensi, yakni Common But Differentiated Responsibility and Respective Capabilities. Dalam kerangka transparansi yang sudah diatur dalam Perjanjian Paris, prinsip tersebut disepakati. Walaupun kita sudah berkomitmen menjalankan Perjanjian Paris melalui implementasi NDC (Nationally Determined Contributions), pemenuhan komitmen tersebut harus didukung oleh negara maju karena demikianlah ketentuan dalam Perjanjian Paris yang telah disepakati bersama.
”Kalau party (negara anggota) tidak patuh pada ketentuan tersebut, sama saja dengan kondisi sebelum Paris Agreement,” ujar Nur.
Berbagai kendala
Hal yang sangat memprihatinkan, lanjut Nur, adalah tidak berimbangnya ketentuan antara aksi dan dukungan dalam menerapkan Perjanjian Paris terutama NDC. Kata-kata dalam teks seperti ”acknowledge” dan ”noted” bermakna lemah dibandingkan dengan ”shall” dalam mempertimbangkan pembedaan kewajiban yang dijabarkan dalam ”flexibility” yang harus dijalankan oleh negara berkembang. Demikian pula halnya ”shall” untuk menyediakan dukungan serta pelaporan yang transparan bagi negara berkembang dalam melaporkannya.
Emma Rachmawaty, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, juga menyatakan kekhawatirannya menghadapi alotnya perdebatan di sidang ini. Ia memberikan gambaran materi negosiasi tentang accounting dalam implementasi NDC. Accounting NDC terkait dengan asumsi dan metodologi yang digunakan sebenarnya dapat dilaksanakan kelompok negara berkembang, tetapi kelompok ini tidak mau terikat secara hukum atau legally binding.
Sebagai contoh, kelompok negara berkembang sebenarnya telah melakukan perhitungan inventarisasi gas rumah kaca, tetapi kelompok ini di COP Katowice menyatakan hal ini tidak mau legally binding. Alasannya, di dalam pelaporan belum sama dengan kemajuan negara maju. ”Indonesia sendiri dalam melakukan pelaporan tidak menggunakan konsultan berbeda dengan beberapa negara berkembang lainnya,” ucap Emma.
Lebih lanjut Nur menilai, walaupun negosiasi berjalan sangat lambat, perjuangan tim negosiator Indonesia telah membuahkan hasil. Hal ini karena di dalam draf teks dari Presiden COP 24 telah mengakomodasi kepentingan Indonesia. ”Kami lebih mengkhawatirkan kalau tidak ada kesepakatan tentang rules book untuk implementasi Perjanjian Paris,” lanjutnya. Hasil COP ini akan lemah sebagai pedoman dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut.
Menanggapi perkembangan negosiasi ini, Ruandha Agung Sugardiman, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, masih berharap keluarnya hasil yang positif pada COP 24. Harapan dan keyakinan Ruandha seperti pernyataan Presiden COP 24 pada pembukaan konferensi ini, Senin (3/12/2018). ”Tanpa sukses di Katowice, kelanjutan Paris Agreement menjadi tanda tanya,” katanya.
Pedoman pelaksanaan Perjanjian Paris ini menjadi dasar dalam menjalankan kerja sama dengan berbagai pihak di dalam negeri, termasuk mendorong non-party stakeholder.
”Teman-teman di Ditjen PPI telah kami dorong untuk memulai sosialisasi NDC ke sejumlah propinsi yang menemui semua pemangku kepentingan. Dengan rules book hasil dari COP ini, harusnya akan menjadi lebih mudah menyusun petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis implementasi NDC,” papar Ruandha di sela waktu menunggu penutupan COP 24.