SURABAYA, KOMPAS - Remitansi tenaga kerja Indonesia bisa membuka akses sekaligus mendorong pertumbuhan inklusi keuangan. Optimalisasi jaringan badan usaha milik pesantren yang jumlahnya mencapai jutaan di Indonesia, bermanfaat sebagai kanal untuk mengaliri dana remitansi ke pelosok negeri.
Berdasarkan catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pada 2016, remitansi TKI Indonesia mencapai 8,85 miliar dollar AS atau sekitar Rp 127 triliun. Angka ini berada jauh di bawah remitansi yang dihasilkan tenaga kerja Filipina di luar negeri sebesar 24 miliar dollar AS.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Sugeng mengatakan potensi remitansi pekerja migran dinilai dapat mencapai dua kali lebih besar dari yang tercatat. Rendahnya nilai remitensi TKI sendiri disebabkan masih banyak TKI yang tidak memiliki rekening perbankan.
“Baru 62 persen sistem remitansi telah berjalan secara nontunai, sebesar 30 persen dana remitansi masih tidak masuk ke rekening, sementara sisanya melalui jasa penitipan kepada orang yang dipercaya,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Membuka Akses Layanan Keuangan Melalui Optimalisasi Layanan Remitansi’.
Diskusi tersebut merupakan bagian dari rangkaian Festival Ekonomi Syariah Indonesia (ISEF) 2018, yang berlangsung di Surabaya, Jumat (14/12/2018).
Insiatif penguatan remitansi telah dimulai Bank Indonesia sejak awal 2017. Salah satu caranya dengan optimalisasi agen Layanan Keuangan Digital (LKD) untuk memberikan jasa keuangan pada masyarakat di seluruh pelosok wilayah Indonesia.
Kolaborasi antara LKD dengan lembaga keuangan mikro milik pesantren atau baitul maal wa tamwil (BMT), juga berpotensi untuk mendorong pertumbuhan inklusivitas keuangan yang tahun ini baru mencapai 49 persen.
Padahal, lanjut Sugeng, berdasarkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), pada 2019 ditargetkan inklusi keuangan Indonesia menvapai 75 persen. Target ini sesungguhnya masih berada di bawah capaian Thailand sebesar 82 persen, Malaysia (85 persen), dan Singapura (98 persen).
Kepala Departemen Elektronifikasi dan GPN, Pungky Wibowo memperkirakan inklusi keuangan akhir tahun ini sekitar 63 persen. Inklusi dapat ditingkatkan dengan upaya menggiring pada layanan keuangan.
Hal tersebut mendorong BI menyiapkan ketentuan remitansi dengan dana berakhir di rekening perbankan. Dengan begitu, lanjut Pungky, dana yang dikirim pekerja migran Indonesia tidak lagi masuk ke dalam neger dalam bentuk tunai.
"Tujuan utamanya tentu agar biaya-biaya remitansi bisa lebih murah dan efisien, kita memang ingin mensinergikan pelaku industri finansial inklusi ini," kata Pungky
Adapun menurut Pungky, biaya remitansi Indonesia saat ini juga masih tergolong tinggi dibanding negara lain yakni sekitar 7,8 persen. Pihaknya optimistis kolaborasi antara perbankan dan tekfin dapat menekan biaya tersebut hingga kurang dari lima persen.
Dana haji
Sementara itu terkait dana haji, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu menuturkan pihaknya akan menginvestasikan langsung dana kelolaan haji ke Arab Saudi di tahun 2019 mendatang. Investasi langsung tersebut nantinya berkaitan dengan pengelolaan haji seperti hotel dan layanan katering.
“Proses investasi sudah direalisasikan dan sudah dalam tahap negosiasi dan penawaranuntuk wilayah Mekah dan Madinah. Kategori investasi ini sendiri adalah investasi jangka panjang,” ujar Anggito.
Skema investasi langsung ini memperbarui proporsi investasi dana kelolaan haji. Sebelumnya sebanyak 50 persen dana investasi dimasukkan ke dalam Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaran Ibadan Haji (BPS-BPIH), sementara 50 persen lainnya melalui Sukuk Negara dan korporasi.
Untuk saat ini, jumlah investasi di Sukuk Negara dan Korporasi akan dikurangi menjadi 30 persen, dan 20 persennya akan disalurkan ke investasi langsung. Sebagai catatan, hingga bulan Desember 2018 total dana kelolaan haji BPKH mencapai Rp 110 triliun. Tahun depan BPKH menargetkan dana kelolaan tersebut meningkat Rp menjadi Rp 121 triliun.