"Bertahun-tahun aku menanti sejak para penguasa mengumandangkan ET (eks tahanan politik) itu tak diperlukan lagi. Tetapi, hukuman yang batil itu masih saja menghantu di pojoknya. Momok itu tetap berjaga-jaga di sudut KTP-ku" (Cerpen Martin Aleida "Ode untuk Selembar KTP", Kompas, Minggu 17 Februari 2002).
Demikian kisah Iramani, ibu tua berusia 72 tahun yang harus menjual sebidang tanah warisan ayahnya di Solo untuk membuat selembar Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru tanpa tulisan ET di pojok kanan atas. Setelah membayar jutaan rupiah, ia serasa menemukan harga dirinya kembali.
Barangkali masih banyak "Iramani-Iramani" lainnya yang masih terpasung dengan stigma ET hingga sekarang. Dalam 35 cerpennya, Martin Aleida mendaraskan beberapa cerita kemanusiaan seputar kekerasan politik tahun 1965-1966.
"Ia menggambarkannya dengan hidup bagaimana Orde Baru memberikan stigma kepada para korban, mulai dari cerita ibu yang membayar jutaan rupiah untuk membeli KTP tanpa kode ET, kisah orang-orang yang dicabut kewarganegaraannya di luar negeri setelah 1965 dan tak bisa pulang lagi ke tanah air dan sebagainya. Semua diceritakan Martin dengan ironis," ujar Sejarawan Asvi Warman Adam, Jumat (14/12/2018) saat peluncuran kumpulan cerpen Martin Aleida berjudul "Kata-kata Membasuh Luka" terbitan Penerbit Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta.
Cerpen-cerpen Martin muncul di tengah mampatnya upaya-upaya hukum untuk mengungkap peristiwa 1965. Di sisi lain, sudah terbit buku-buku sejarah yang mengungkapkan apa yang dulu disembunyikan pada masa Orba. Namun, buku-buku tersebut tidak sampai pada siswa.
"Kita tidak bisa berharap lagi dari pengadilan. Pada sastralah kita bisa mengharapkan keadilan," tambah Asvi.
Selain menulis cerita-cerita berlatar belakang situasi politik 1965, Martin juga mengupas kisah-kisah kemanusiaan yang ia susun sejak 1968 hingga 2018. “Saya hanya berharap tulisan ini dapat memperkaya wawasan pembaca, bukan mempropaganda. Jika cetusan saya menyalahkan satu pihak, Anda tak bisa salahkan saya, karena saya pernah menjalani pengalaman pahit tersebut,” ungkap Martin.
Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tamagola kagum dengan Martin yang berani menyimpan ingatan dan berani menuliskannya dalam kata-kata. (ERIKA KURNIA)