Tren Ekonomi Kreatif dan Otomasi Ubah Lanskap Pasar Tenaga Kerja
Oleh
Mediana
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Siswa Politeknik Manufaktur Astra di kawasan Sunter, Jakarta Utara, mengoperasikan robot di bengkel kerja robotik, otomotif, dan mekanika, Kamis (1/11/2018). Politeknik ini merupakan hasil bentuk kerja sama Indonesia dan Jerman melalui Perkumpulan Ekonomi Indonesia Jerman (EKONID) di bidang pendidikan vokasi.
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan ekonomi kreatif dan tren otomasi menyebabkan pasar tenaga kerja dalam rantai pasok industri semakin kompleks. Salah satu tantangan adalah menciptakan kerja layak bagi pekerja rumahan.
”Pekerja rumahan tergolong rentan. Dengan hadirnya dua perkembangan itu, pekerja rumahan semestinya mulai menyadari bidang-bidang pekerjaan apa saja yang masih dan tidak lagi dibutuhkan industri,” ujar peneliti Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Kristen Satya Wacana, Arianti Ina Restiani Hunga, di sela-sela diskusi Buruh (Tanpa) Pabrik, Jumat (14/12/2018), di Jakarta.
Diskusi Buruh (Tanpa) Pabrik menjadi bagian dari acara Festival Pekerja Rumahan yang diselenggarakan Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU).
Pekerja rumahan merujuk pada individu yang terlibat membantu proses produksi sebuah industri. Pekerja rumahan bukanlah mereka yang bekerja mandiri, melainkan pekerja yang terikat hubungan kerja dengan pihak lain dengan kontrak pekerjaan tertentu.
Pekerja rumahan merujuk pada individu yang terlibat membantu proses produksi sebuah industri.
Kontrak kerja yang diberikan kepada mereka biasanya kontrak lisan tentang pengerjaan pekerjaan yang memberikan nilai tambah terhadap komoditas-komoditas komersial. Pekerja rumahan biasanya mengerjakan pekerjaan di rumah tanpa ada batasan waktu dan menggunakan alat produksi sendiri.
Berdasarkan data MAMPU bersama Trade Union Rights Centre, Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia, Bitra Indonesia, dan Yayasan Annisa Swasti, jumlah pekerja rumahan di Indonesia berkisar 4.000-5.000 orang. Mereka menyebar di tujuh provinsi penyokong industri nasional, antara lain Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah.
KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Suryani (29), warga Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, 15 Desember 2016, setiap hari bekerja memasukkan sedotan minuman kemasan ke dalam plastik. Suryani adalah salah seorang pekerja rumahan. Selama 9-12 jam per hari di rumahnya, ia mendapat upah borongan Rp 8.000 untuk satu karung sedotan atau rata-rata sekitar Rp 200.000 per bulan.
Sekitar 80 persen pekerja rumahan adalah perempuan, ibu rumah tangga, dan berusia di atas 30 tahun. Mereka bekerja mendukung industri padat karya berorientasi ekspor dan kerajinan untuk kebutuhan nasional.
Arianti mengungkapkan, dalam konsep rantai pasok industri yang semakin kompleks, kelompok pekerja rumahan satu dengan lainnya kemungkinan mengerjakan bidang berbeda. Untuk produk pakaian batik, misalnya, ada pekerja rumahan menggarap khusus desain, pewarnaan, pengeringan, dan menjahit.
”Pembagian bidang pekerjaan dibagi per bagian sebuah produk jadi. Semakin terampil dan kompeten pekerja, semakin dia memiliki posisi tawar lebih,” lanjutnya.
KOMPAS/MEDIANA
Peneliti Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Kristen Satya Wacana, Arianti Ina Restiani Hunga, dalam sesi diskusi Buruh (Tanpa) Pabrik, Jumat (14/12/2018), di Gedung Kerta Niaga, Kompleks Kota Tua Jakarta.
National Programme Officer Labour Standard in Global Supply Chain Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Indonesia Christianus H Panjaitan menjelaskan, kemunculan rantai pasok global merupakan bagian untuk memenuhi kebutuhan pasar. Manfaat positif meliputi penciptaan lapangan kerja, berkontribusi terhadap perekonomian, dan pengentasan warga miskin di negara berkembang yang menjadi bagian rantai pasok.
Kendati demikian, rantai pasok menimbulkan tantangan defisit kerja layak karena tidak optimalnya tata kelola. Kerja layak menurut definisi ILO adalah pekerja menerima upah, jaminan sosial, serta terjamin keselamatan dan kesehatan kerja.
Pada zaman sekarang, rantai pasok berkembang semakin kompleks. Pemilik merek produk garmen, misalnya, tidak mengetahui kelompok pekerja rumahan yang mengerjakan produksi sampai ke bagian terkecil dari pakaian.
”Hal terpenting adalah memastikan peningkatan ekonomi diikuti kesejahteraan sosial. Pada praktiknya, pekerja rumahan bagian dari rantai pasok tidak sejahtera. Upah ataupun kompensasi atas pekerjaan mereka dibayar dengan nilai rendah,” tutur Christianus.
Kompas/Winarto Herusansono
Tumbuhnya industri garmen dan tekstil di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Semarang, juga melahirkan lembaga kursus dan pelatihan untuk anak-anak muda dari desa. Rabu (15/3/2017), beberapa anak muda belajar menjahit dan membuat pola di Lembaga Kursus dan Pelatihan Eka Mulya di Gintungan, Ungaran, Kabupaten Semarang.
Menurut dia, isu pekerja rumahan dalam rantai pasok global dapat disikapi dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah memberikan penyadaran hak kesejahteraan kepada pekerja rumahan sendiri. Hal ini bisa diupayakan melalui pembentukan kelompok atau serikat. ”Pemerintah pun dapat ikut berperan,” ujarnya.
Pendekatan kedua melalui konsumen. Di sejumlah negara maju, konsep fair trade lahir dari kesadaran konsumen akan rantai pasok global dan kesejahteraan pekerja.
Kepala Bagian Penelaahan Hukum dan Konvensi Internasional Kementerian Ketenagakerjaan Umar Kasim mengakui, sampai sekarang Indonesia belum memiliki peraturan ketenagakerjaan yang spesifik tentang pekerja rumahan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahkan hanya menyebut pekerjaan di luar hubungan kerja.
”Model-model hubungan industrial baru bermunculan, seperti kemitraan, keagenan, dan plasma. Kami memang berencana melahirkan peraturan ketenagakerjaan yang spesifik mengatur model baru tersebut,” kata Umar.