Saatnya Bergerak Cepat di 2019
Harian ”Kompas” melaksanakan diskusi panel ekonomi pada 4 Desember 2018 bertema ”Mengantisipasi Situasi Ekonomi dan Politik 2019”. Sebagai panelis Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia; Enrico Tanuwidjaja, Kepala ekonom PT Bank UOB Indonesia; Bambang Kesowo, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhanas; dan Faisal Basri, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, sekaligus sebagai moderator. Laporan ditulis Ninuk M Pambudy, Dewi Indriastuti, Andreas Maryoto, dan Hendriyo Widi di halaman 10 dan 11.
Tahun 2019 adalah tahun yang menantang sekaligus memunculkan peluang. Kondisi dunia yang diliputi ketidakpastian mesti dihadapi dengan berbagai strategi.
Sebagaimana halnya negara-negara berkembang lain di dunia ini yang terkena dampak dari langkah negara-negara besar, begitu juga Indonesia. Perseteruan dagang antara Amerika Serikat dan China yang belum juga mencapai titik temu, membuat banyak negara bergejolak. Dampaknya antara lain pada perdagangan dunia yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi 2019, dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Faktor yang diperhitungkan dalam revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi ini adalah ketidakpastian keuangan dan perekonomian global.
Sikap dan langkah Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang pada 2018 kerap bertentangan dengan Presiden AS Donald Trump, pada 2019 ini dinanti. Pasar dan analis memperkirakan, The Fed tidak akan seagresif pada 2018. Akan tetapi, apa pun langkah The Fed, terbukti menambah faktor penyebab gejolak ekonomi bagi negara-negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia.
Daya tarik obligasi AS membuat dana-dana asing bergerak dari negara-negara berkembang ke AS. Di Indonesia, investor asing jangka panjang masih bertahan. Namun, investor asing jangka pendek leluasa masuk dan keluar dari pasar keuangan suatu negara ke negara lain yang menjanjikan imbal hasil lebih menguntungkan.
Bank Indonesia berupaya mengantisipasi dana-dana asing itu meninggalkan Indonesia dengan cara mendahului kurva. yakni menaikkan suku bunga acuan BI sebelum The Fed menaikkan suku bunga. Secara keseluruhan pada Mei-November 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin menjadi 6 persen.
Langkah ini bisa menahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS agar tidak terlalu terjerembab. Bahkan, pada awal November hingga awal Desember, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat cukup tajam. Padahal, BI dalam berbagai kesempatan berupaya menjaga nilai tukar rupiah agar volatilitasnya tidak terlalu tajam.
Akan tetapi, mesti disadari, Indonesia memiliki transaksi berjalan defisit. Dengan bahasa sederhana, neraca barang, jasa, dan pendapatan Indonesia tekor karena kebutuhan akan dollar AS lebih besar daripada kemampuan menghasilkan dollar AS.
Transaksi berjalan yang defisit sejak triwulan IV-2011 itu ditambal transaksi finansial yang biasanya surplus, agar menghasilkan neraca pembayaran yang surplus. Transaksi finansial terdiri dari investasi langsung dan investasi portofolio. Investasi langsung berkaitan dengan penanaman modal asing (PMA), yang relatif bertahan lama di suatu negara. Adapun investasi portofolio bisa masuk dan keluar dari pasar keuangan suatu negara kapan pun, sesuai pertimbangan investor tersebut.
Indonesia sangat bergantung pada investasi asing, termasuk portofolio. Saat ini, dari keseluruhan surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah, sekitar 37-38 persen di antaranya dimiliki investor asing. Dengan kondisi ini, Indonesia mesti memiliki daya tarik jika ingin mempertahankan investor asing itu tetap di pasar keuangan Indonesia.
Sementara, untuk menarik PMA, Pemerintah RI menerbitkan paket kebijakan yang intinya menderegulasi peraturan yang membuat proses investasi berjalan lambat. Akan tetapi, faktanya, belum semua paket kebijakan itu diimplementasikan, sehingga PMA tidak maksimal.
Selain itu, Pemilu 2019 menjadi faktor yang dipertimbangkan investor untuk menempatkan investasi PMA. Sebagian investor memilih untuk menunggu dan melihat lebih dulu hasil Pemilu.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, dalam tiga triwulan 2018, PMA cenderung turun. PMA yang pada triwulan I sebesar 108,9 miliar dollar AS, turun menjadi 95,7 miliar dollar AS pada triwulan II dan 84,7 miliar dollar AS pada triwulan III.
Kondisi ini berlawanan dengan 2017. PMA pada triwulan I sebesar 97 miliar dollar AS, naik menjadi 109,8 miliar AS pada triwulan II, serta menjadi 111,7 miliar dollar AS pada triwulan III dan 112 miliar dollar AS pada triwulan IV.
Selain menaikkan suku bunga acuan, BI juga memiliki instrumen moneter untuk menjaga nilai tukar rupiah. Langkah yang sudah dilakukan BI adalah intervensi ganda, dengan cara menggelontorkan dollar AS di pasar keuangan dan membeli SBN di pasar sekunder. Namun, langkah ini memakan "biaya" berupa cadangan devisa.
Cara lain sudah ditempuh BI, antara lain menggunakan domestic non deliverable forward, sehingga acuan nilai tukar di pasar tidak jauh melenceng dari kondisi pasar di dalam negeri.
Persoalan yang sama
Akan tetapi, apa pun langkah yang ditempuh BI, akan persoalannya tetap sama, yakni defisit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Oktober 2018 defisit 5,514 miliar dollar AS. Kondisi ini jauh lebih buruk dari Januari-Oktober 2017, yang surplus 11,861 miliar dollar AS.
Penyebabnya, antara lain, Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas. Padahal, ekspor komoditas tidak memiliki nilai tambah. Di sisi lain, Indonesia juga sangat bergantung pada impor minyak.
Memasuki 2019, arah industri menuju revolusi 4.0 semakin kuat. Industri yang kental diwarnai teknologi digital dan informasi ini tak hanya didukung kebijakan pemerintah, namun juga membutuhkan tenaga kerja yang menguasai keterampilan digital. Harus diakui, tenaga kerja dengan keterampilan mumpuni di bidang digital masih terbatas. Upaya mengejar ketinggalan masih terkendala persoalan birokrasi yang kurang lincah mengadopsi kondisi terkini.
Pemerintah menekankan, APBN 2019 diarahkan untuk membangun sumber daya manusia, yang antara lain diawali sektor pendidikan. Tujuannya, meningkatkan kompetensi dan daya saing bangsa.
Jika tak ada peningkatan nilai tambah -dengan kata lain masih bergantung pada ekspor komoditas-, maka Indonesia masih akan bergulat pada masalah yang sama.
Reformasi
Tak ada jalan lain, siapa pun Presiden-Wakil Presiden hasil Pemilu 2019 mesti terus-menerus berupaya merealisasikan reformasi struktural. Wujudnya, antara lain dengan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Sebab, sekitar 70 persen impor RI berupa bahan baku dan penolong yang digunakan dalam proses produksi. Ketergantungan itu juga bisa dikurangi dengan meningkatkan konten lokal.
Cara lain adalah mendorong sektor manufaktur, yang selama ini cenderung tidak digenjot. Mendorong sektor manufaktur merupakan cara meningkatkan nilai tambah, terutama terhadap hasil produksi yang diekspor. Dengan cara itu, perubahan yang terjadi akan berkelanjutan sehingga bisa memperbaiki transaksi berjalan secara perlahan.
Perlu langkah segera karena transaksi berjalan tahunan sudah defisit sejak 2012. Untuk melangkah, bahkan berlari, demi kondisi perekonomian yang lebih baik, pemerintah mesti bergerak cepat. Dengan kata lain, kepentingan negara dan masyarakat mesti dijunjung tinggi, di atas kepentingan partai politik pendukung presiden-wakil presiden terpilih.
Tanpa kesadaran bersama untuk memperbaiki kondisi negara, maka setiap gejolak global akan berdampak besar bagi Indonesia. Jangan sampai, kita tahu masalah yang mesti diselesaikan, tapi tak melakukan apa-apa.