Penyelesaian Kasus Korban Peminjaman Uang Daring Terkendala Akses Data
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penyelesaian kasus yang menimpa ribuan konsumen perusahaan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi terkendala akses terhadap data. Pihak berwenang belum menerima data lengkap terkait peminjam dan perusahaan sehingga tidak dapat melakukan investigasi secara mendalam.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman dari perusahaan teknologi finansial (tekfin) peer to peer (P2P) lending selama November 2018. Terdapat 14 jenis aduan, di mana salah satunya adalah seluruh korban menyatakan informasi pribadi dalam gawai diakses dan disebarkan tanpa izin.
Mayoritas korban juga menerima bunga cicilan yang sangat tinggi dan ditagih oleh orang yang berbeda-beda. Sebanyak 89 perusahaan melakukan pelanggaran tersebut, dimana 25 di antaranya teregistrasi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi seusai pertemuan dengan LBH Jakarta di Jakarta, Jumat (14/12/2018), mengatakan, sejauh ini, OJK baru menyurati perusahaan terdaftar yang diduga terlibat untuk diperiksa. Perusahaan-perusahaan tersebut diketahui dari 25 inisial perusahaan yang dirilis LBH Jakarta beberapa waktu lalu.
“Kami dan asosiasi tekfin berharap bisa menjalin kerja sama (dengan LBH Jakarta) untuk memperoleh data yang lengkap dan detil agar dapat menyelesaikan masalah secara baik dan terarah,” tuturnya.
Mayoritas korban juga menerima bunga cicilan yang sangat tinggi dan ditagih oleh orang yang berbeda-beda
OJK sampai saat ini belum menerima bukti konkret terkait pelanggaran yang dilakukan perusahaan tekfin legal. Namun, izin perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran akan dicabut.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko berpendapat, data korban dan perusahaan perlu segera diberikan agar segera dilakukan mediasi. AFPI masih belum mengetahui dengan jelas nama perusahaan, produk keuangan, dan permasalahan yang menimpa para peminjam.
AFPI baru saja menangani kasus aduan serupa yang ditangani oleh LBH Bandung dan LBH Bogor. Kasus yang diterima LBH Bandung telah diselesaikan melalui mediasi antara korban dan perusahaan melalui penjadwalan ulang masa pinjaman dan besar cicilan, serta pengurangan denda atau bunga.
Menurut Sunu, perusahaan yang melanggar kode etik asosiasi telah mendapat surat peringatan pertama dan diberi edukasi terkait karakter peminjam di Indonesia.
“OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) baru-baru ini telah melarang perusahaan tekfin mengakses data kontak pribadi peminjam,” kata Sunu. Sebelumnya, perusahaan mengakses data ini untuk melakukan penilaian kredit (credit scoring) terkait kevalidan dan kelayakan peminjam.
Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing menyampaikan, masyarakat yang menjadi korban dari perusahaan tekfin P2P yang belum terdaftar atau ilegal, dapat langsung melapor kepada satgas atau kepolisian. “Kami harap masyarakat bisa lebih cerdas untuk meminjam sesuai kemampuan,” ucapnya.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait, mengungkapkan, belum dapat memberikan data para korban. Dalam form pengaduan daring LBH Jakarta, identitas pelapor dinyatakan terjamin. Dengan demikian, konfirmasi kesediaan para pelapor untuk memberikan data kepada pihak berwenang masih harus dilakukan dalam beberapa hari ke depan.
Secara terpisah, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance atau Indef, Bhima Yudhistira menilai, LBH Jakarta perlu segera memberikan data tersebut agar aduan bisa diproses. “Ini supaya laporan bisa masuk ke ranah hukum, apakah perdata atau pidana bisa diselesaikan di situ,” tuturnya.
Pencegahan
Bhima mengatakan, ada tiga hal yang harus dibenahi untuk mencegah kasus serupa kembali terjadi. OJK perlu menindak tegas perusahaan tekfin yang tak kunjung mendaftar agar tidak berkembang. Asosiasi perusahaan tekfin harus mengawasi dan memberikan sanksi kepada anggota yang melanggar kode etik. Dengan demikian, ada kontrol dari sisi eksternal dan internal bagi perusahaan tekfin.
Ia melanjutkan, masyarakat juga tidak boleh meminjam dari perusahaan dengan bunga yang tidak wajar. “Masyarakat harus membaca persyaratan agar tidak memberi akses data pribadi,” ujar Bhima.
Berpengaruh
Sunu menilai, kekisruhan masalah peminjaman secara daring dapat merusak citra perusahaan tekfin yang sedang berkembang. Padahal, esensi dasar keberadaan perusahaan tekfin adalah untuk meningkatkan inklusi keuangan dan membantu masyarakat yang belum mendapat layanan perbankan.
“Kami akui ada ekses. Tetapi, ini yang ingin kita perbaiki,” kata Sunu. Ia berharap, agar masyarakat dan pihak yang terkait tidak mencampuradukkan masalah yang menimpa perusahaan tekfin legal dan ilegal.
Hendrikus menegaskan, OJK akan fokus untuk mengedepankan perlindungan konsumen, terdiri dari peminjam, pemberi pinjaman, dan penyelenggara. Sistem akan terus diperbaiki untuk membangun industri tekfin yang kuat dan sehat.