Kota yang Merebut Perhatian
Pertumbuhan kota-kota di dunia telah menyedot perhatian sejak setidaknya 40 tahun silam. Pada UN Habitat I di Vancouver, Kanada, tahun 1976, disadari ada kebutuhan permukiman manusia dan urbanisasi berkelanjutan.
UN Habitat I menjadi tonggak awal peta jalan menuju Agenda Baru Perkotaan (The New Urban Agenda). UN Habitat atau United Nations Human Settlements Programme adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tempat tinggal manusia yang menggagas pemikiran global penataan perkotaan yang lebih baik.
Selang 20 tahun kemudian, digelar UN Habitat II. Hasilnya, para pemimpin dunia mengadopsi Agenda Habitat sebagai rencana aksi global untuk hunian layak bagi semua. Permukiman berkelanjutan dapat mendorong pembangunan di dunia yang semakin mengkota. Kota diakui sebagai motor penggerak pertumbuhan global.
Di UN Habitat II di Istanbul, Turki, itu ajakan untuk peran otoritas lokal (pemerintah daerah) yang lebih kuat mengemuka. Ini seiring dengan kesadaran akan pentingnya partisipasi semua lapisan warga dalam mengelola kota.
Pada 20 Oktober 2016, dihelat UN Habitat III di Quito, Ekuador. Agenda Baru Perkotaan lahir dari kegiatan ini yang disepakati 30.000 peserta dari 167 negara. Agenda baru ini didasari pertumbuhan penduduk yang membengkak pesat, kawasan kota membesar, meluas, bahkan ada kawasan yang bertransformasi menjadi kota dalam hitungan beberapa tahun saja.
Kota-kota menjadi pusat perputaran dan pertumbuhan ekonomi, fokus pembangunan, tetapi juga pusat masalah. Masalah yang dimaksud adalah kemiskinan, bencana alam, ataupun yang dipicu salah kelola lingkungan oleh manusia, kekurangan rumah layak, air bersih, sanitasi buruk, masalah terkait SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), ketidaksetaraan jender, dan kesenjangan di berbagai bidang.
Dr Joan Clos, Sekretaris Jenderal Konferensi PBB untuk Perumahan dan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan-Habitat III, menyatakan saat ini tengah berlangsung peningkatan urbanisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Kita telah mencapai titik kritis dalam memahami bahwa kota dapat menjadi sumber solusi, bukan menjadi penyebab dari tantangan yang dihadapi dunia saat ini,” tulis Joan di kata pengantar dokumen Agenda Baru Perkotaan yang diterbitkan PBB pada 2017.
Para peserta menjabarkan standar dan prinsip untuk perencanaan, konstruksi, pembangunan, pengelolaan, dan peningkatan area perkotaan bersama dengan lima pilar utama pelaksanaannya. Kelima pilar itu meliputi kebijakan perkotaan nasional, peraturan dan perundang-undangan perkotaan, perencanaan dan perancangan perkotaan, ekonomi lokal dan pembiayaan perkotaan, serta implementasi lokal.
Visi kota berkelanjutan saat ini adalah terwujudnya kota inklusif. Hal ini selaras dengan Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), khususnya Tujuan 11 mengenai kota dan komunitas yang berkelanjutan.
Mengapa harus inklusif? Karena kota adalah manusia-manusia penghuninya. Mereka individu yang berbeda, memiliki kecenderungan hidup berkelompok tetapi tetap butuh dan berhak atas ruang privat.
Mengelola kota untuk dapat memenuhi hajat hidup setiap individu adalah tuntutan normal di era kini. Tentunya butuh kearifan sehingga lahan terbatas perkotaan yang sesak padat dihuni tetap mampu menyokong setiap individu yang bergantung padanya. Jangan sampai kemerosotan kota terjadi.
Mengelola perkotaan jelas berbeda dengan perdesaan. Karakteristik fisik keduanya ataupun demografi serta dinamika sosial budaya juga sisi politik dan ekonominya tidak sama. Dalam Agenda Baru Perkotaan, budaya lokal menjadi pertimbangan dalam setiap kebijakan penataan kota. Untuk itu, pengelolaan satu kota dengan lain bisa ada persamaan tetapi logis jika berbeda.
”Pekerjaan kita untuk mewujudkan visi ini dimulai sekarang,” kata Joan.
Para perwakilan negara dan peserta UN Habitat III pun menyadari realisasi dari komitmen transformatif dalam Agenda Baru Perkotaan memerlukan kerangka kebijakan yang memadai di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Kerja sama di tingkat regional, nasional, dan internasional, serta upaya pengembangan kapasitas, termasuk berbagi best practice, kebijakan, dan program terbaik di antara semua tingkatan pemerintah, menjadi pelengkap strategi implementasi.
Program bukan proyek
Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Indonesia Gunawan Tjahjono, seperti dikutip Nirwono Joga dalam buku Membangun Peradaban Kota, menyatakan, kota yang berlanjut harus penuh vitalitas. Kota diukur dari kecukupan udara bersih, pasokan air bersih (siap minum), makanan bergizi, pakaian dan hunian layak, keamanan lingkungan, kegiatan sehat dalam berkreasi dan berkarya, berkesempatan menyatakan diri dan pendapat, serta keselarasan antara semua unsur tersebut.
Kita ingin membuat kota yang livable. Tapi, kalau kita tidak punya indikator yang merefleksikan tujuan itu, ini omong kosong.
Alain Bertaud, peneliti senior di Marron Institute of Urban Development, Universitas New York, Amerika Serikat, mengingatkan, membangun kota yang layak bagi warga membutuhkan kesesuaian antara penata kota dan ekonom kota. Alain dalam laporan wawancaranya di www.citylab.com 11 Desember ini mengatakan, kota dibentuk oleh kekuatan pasar, bukan oleh seorang visioner.
Namun, merujuk pada Agenda Baru Perkotaan, dengan penataan dan pengelolaan tepat, kekuatan pasar dapat diselaraskan demi kepentingan warga. Kampung atau permukiman murah dan mandiri di tengah ibu kota Indonesia, Jakarta, menjadi contoh unik. Di kampung, warga membangun dan mengelola sendiri kebutuhannya.
Rata-rata, warga kampung bekerja di rumah atau di tempat yang tidak jauh dari tempat tinggal. Otomatis, pengeluaran dapat ditekan. Biaya hidup secara keseluruhan kecil sehingga mampu bertahan di tengah kota yang serba mahal.
Kampung bagian dari budaya masyarakat Jakarta. Saat kampung dilihat sebagai aset kota, tantangan pengelola adalah meningkatkan kualitas hidup warga kampung di tengah segala keterbatasan akses air bersih, sanitasi, dan lainnya. Juga menyelesaikan konflik lahan.
Kampung hanyalah satu contoh. Masih banyak sisi kota lain yang bisa dikelola sebagai aset kota. Hal ini akan mengikis kesenjangan di Jakarta yang sebagian lahannya tumbuh pencakar langit tempat perusahaan nasional dan internasional bercokol, apartemen, dan pusat belanja mewah.
”Kita ingin membuat kota yang livable. Tapi, kalau kita tidak punya indikator yang merefleksikan tujuan itu, ini omong kosong,” kata Alain.
Pemimpin, seperti wali kota dan gubernur, bahkan sekelas presiden yang menelurkan kebijakan dan melaksanakannya, boleh memiliki visi top-down. Dalam memunculkan indikator pencapaian program kerja, rengkuhlah secara bottom-up.
Pola pengelolaan gabungan top-down dan bottom-up menjadi cara ampuh meraih kota layak huni yang inklusif.
Apakah sudah terwujud di sini, misalnya di Jakarta? Yang pasti ada proses yang tengah berjalan. Namun, perlu kejelasan konsep dan kesinambungan program yang berkorelasi dengan realisasi proyek. Kalau setiap ganti pemimpin ganti nama proyek, apalagi program, tentu tidak mudah dipercaya keberlanjutan akan ada.
Jadi, saat kota telah merebut perhatian dunia, pekerjaan rumah kita selanjutnya memastikan perhatian itu tepat seperti yang dibutuhkan.