Kejutan Belum Berakhir
Volatilitas perekonomian global masih terus berlanjut pada 2019. Kendati diperkirakan melemah, namun tekanan dari kejutan-kejutan kebijakan Amerika Serikat dan China, serta persoalan ekonomi dan geopolitik di sejumlah negara, berpotensi menyebabkan ketidakpastian. Dalam situasi itu, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, menjaga stabilitas atau memacu pertumbuhan ekonomi.
Pada 2019, perekonomian global diperkirakan tumbuh landai dan tidak seimbang. AS masih bergumul dengan perbaikan ekonomi domestik. Fokusnya, memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara, terutama China, dan menjaga keseimbangan makroekonomi melalui kebijakan moneter.
Gencatan perang dagang AS-China yang bakal terjadi selama 90 hari pascapertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di Argentina pada akhir November lalu, diperkirakan tetap menyebabkan volatilitas. Volume perdagangan dunia masih akan tumbuh melambat pada triwulan I-2019 dan tetap membuka peluang berbagai kebijakan mengejutkan dari Trump atau Xi pada jeda 90 hari perang dagang itu.
Di sisi lain, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) pada tahun depan. Kendati diperkirakan tidak sebanyak tahun ini, kenaikan FFR tetap akan memperlambat penguatan rupiah dan memicu langkah investor asing untuk keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di Eropa, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat di tengah inflasi yang terus meningkat. Normalisasi kebijakan moneter di Eropa, melalui pengurangan pembelian aset keuangan, diperkirakan masih akan terus berlanjut.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melandai dan risiko hubungan dagang antarnegara yang memburuk akan menyebabkan volume perdagangan dunia tetap rendah. Sejalan dengan itu, harga komoditas dunia turun, termasuk harga minyak mentah dunia yang kembali menurun karena pasokan meningkat.
Situasi ini akan menempatkan Indonesia pada dua fase ekonomi, yaitu fluktuasi dan konsolidasi. Fluktuasi ekonomi diperkirakan akan terjadi pada semester I-2019 yang diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter dan fiskal.
Adapun konsolidasi ekonomi diperkirakan berlangsung pada paruh kedua 2019, yang akan diikuti dengan pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal. Dua fase ekonomi itu akan berlangsung di tengah dinamika politik dalam negeri yang meningkat menjelang Pemilu 2019.
Menjaga stabilitas
Dalam jangka pendek, pemangku kepentingan terkait perlu melanjutkan langkah menjaga stabilitas ekonomi, terutama nilai tukar rupiah. Kebijakan moneter BI menaikkan suku bunga acuan merupakan langkah tepat. Hingga November 2018, BI telah enam kali menaikkan suku bunga acuan, yang secara keseluruhan 175 basis poin menjadi 6 persen.
Kenaikan suku bunga acuan BI itu juga merupakan langkah lanjutan dalam menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas aman, yaitu di bawah 3 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018 sebesar 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB. Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 7,977 miliar dollar AS atau 3,02 persen PDB.
Kenaikan suku bunga acuan BI juga merupakan upaya memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan. Kenaikan suku bunga acuan BI akan membuat suku bunga obligasi pemerintah semakin menarik bagi investor asing.
Artinya, BI benar-benar ingin mempertahankan modal asing yang masih di dalam negeri, sekaligus menarik kembali yang telah keluar. Dengan begitu, cadangan devisa Indonesia terjaga. Cadangan devisa untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, membiayai impor, membayar utang luar negeri dan bunganya, serta membayar dividen.
Selama sembilan bulan pertama tahun ini, cadangan devisa Indonesia tergerus 17,18 miliar dollar AS. Posisi cadangan devisa pada Januari 2018 sebesar 131,98 miliar dollar AS dan pada September 2018 sebesar 114,8 miliar dollar AS. Pundi-pundi devisa baru bertambah pada Oktober dan November 2018, masing-masing menjadi 115,2 miliar dollar AS dan 117,2 miliar dollar AS.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi, perlu mempertahankan dan menarik kembali dana asing. Di sisi lain, kondisi itu justru menunjukkan titik lemah struktur ekonomi Indonesia, yaitu masih bergantung pada dana asing. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 900,59 triliun atau 37,8 persen dari total SBN yang diperdagangkan per akhir November 2018.
Selain kenaikan suku bunga acuan, Indonesia perlu meningkatkan penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi dagang, terutama dengan China, untuk menjaga cadangan devisa. Langkah-langkah pendalaman pasar keuangan, seperti menambah instrumen lindung nilai dan penerapan domestic non-deliverable forward (DNDF) perlu terus berlanjut dan dikembangkan.
Pertumbuhan ekonomi
Di tengah tekanan eksternal, pemerintah tetap berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan APBN 2019, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2019. Adapun asumsi makro lain berupa inflasi 3,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 15.000 per dollar AS, dan harga minyak mentah 70 dollar AS per barrel.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan tidak akan sekuat tahun ini. Perekonomian Indonesia pada 2019 diperkirakan tumbuh 5,1 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2018 yang diperkirakan 5,2 persen.
Hal ini sebagai akibat pengetatan kebijakan moneter (kenaikan suku bunga acuan BI) dan fiskal (pengetatan anggaran belanja) 2018. Selain itu, pada 2019, kegiatan besar di Indonesia tidak sebanyak tahun ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini terbantu penyelenggaraan Asian Games dan Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia. Pada 2019, kegiatan besar yang diperkirakan akan mendorong perekonomian domestik adalah pemilu.
Siapa pun pemimpin yang terpilih dalam Pemilu 2019 harus menjadikan tahun 2019 sebagai momentum memperkokoh fondasi ekonomi Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia yang masih rapuh mesti diperbaiki. Selain bergantung pada dana asing untuk membiayai perekonomian, Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor.
Indonesia perlu meningkatkan peran investor domestik dan investasi asing langsung, dengan mengarahkan pada industri berbasis ekspor dan substitusi impor. Di tengah volatilitas ekonomi global dan pesta demokrasi tahun ini, pemerintah tetap perlu mematangkan strategi kebijakan dalam menghadapi tekanan global dan situasi domestik. Selama ini, belum ada ”jembatan” kuat yang mampu menjadi perantara dalam mengonversikan persoalan yang dihadapi Indonesia menjadi strategi kebijakan.
Tahun 2019 diharapkan menjadi ruang kesadaran bersama dalam membangun perekonomian Indonesia. Pemimpin terpilih jangan mengabaikan kelanjutan kebijakan dan program yang telah dilakukan hingga kini.