Daya Saing Global Menjadi Tolok Ukur
Sumber daya manusia merupakan modal pembangunan krusial bagi sebuah bangsa. Tahun depan Indonesia memiliki 183 juta penduduk usia produktif, berumur 15-64 tahun. Modal besar ini akan termanfaatkan jika penduduknya berkualitas, produktif, dan tersedia lapangan kerja.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu mengatakan, setelah pembangunan infrastruktur, prioritas pengembangan sumber daya manusia harus jadi tekanan dan perhatian setiap kementerian/lembaga terkait. Keputusan itu dituangkan antara lain dalam RAPBN 2019 yang memprioritaskan pengembangan sumber daya manusia.
Pembangunan manusia Indonesia sebenarnya terus mengalami kemajuan, tetapi beberapa capaian pembangunan dalam ukuran kacamata global masih menunjukkan ketertinggalan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memang terus meningkat, yaitu dari 68,9 pada 2014 menjadi 70,81 pada 2017 (BPS, 2018). Namun, nilainya baru 0,694 atau lebih rendah dari nilai global sebesar 0,728.
Angka IPM 70,81 menempatkan Indonesia di urutan ke-116 dari 189 negara. Di kawasan ASEAN, nilai IPM Indonesia sama dengan Vietnam, tetapi lebih rendah dari Singapura (9), Brunei Darussalam (39), Malaysia (57), Thailand (83), dan Filipina (113).
Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh dari ideal. Dalam penilaian IPM itu, orang Indonesia memiliki harapan lama sekolah 12,8 tahun. Namun, rata-rata lama sekolahnya baru 8 tahun atau setara kelas 8.
Kualitas pendidikan pun jauh dari ideal. Uji tiga tahunan Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) untuk siswa usia 15 tahun atau kelas IX di bidang sains, membaca, dan matematika menunjukkan, nilai siswa Indonesia pada 2015 hanya 403, jauh lebih rendah daripada nilai rata-rata global 493. Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga, termasuk Vietnam (525).
Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan mutu siswa Indonesia lemah dalam bernalar serta berargumentasi lisan dan tulisan. Mutu ini mungkin cukup jika ingin jadi pekerja kasar. Namun, di era industri 4.0 yang mengedepankan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong inovasi, kemampuan itu jauh dari memadai.
Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan mutu siswa Indonesia lemah dalam bernalar serta berargumentasi lisan dan tulisan. Mutu ini mungkin cukup jika ingin jadi pekerja kasar.
Bukan saja kompetensi teknis (hardskill), kompetensi lunak (softskill) yang berfungsi membentuk karakter, berkomunikasi, hingga bekerja dalam tim pun masih jadi tantangan berat. Posisi Indonesia dalam Indeks Daya Saing Global (GCI) 2017-2018 memang membaik, naik dari peringkat ke-41 dari 138 negara pada 2016-2017 menjadi peringkat ke-36 dari 137 negara.
Namun, soal sumber daya manusia yang menghambat kemudahan berbisnis sama, mulai dari rendahnya kemampuan inovasi, kualifikasi pendidikan tak memadai, mutu kesehatan warga buruk, hingga rendahnya etika kerja.
Kondisi kesehatan
Lemahnya kemampuan berpikir anak Indonesia tak terlepas dari buruknya kondisi kesehatan mereka sejak lahir. Selama hampir 15 tahun terakhir, lebih dari sepertiga anak balita Indonesia mengalami stunting atau tumbuh lebih pendek dari seharusnya sesuai umur mereka karena kurang gizi kronis. Otak anak-anak stunting tak berkembang optimal.
Prevalensi stunting di Indonesia 37,2 persen, jauh di atas toleransi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu maksimal 20 persen atau seperlima jumlah anak balita. Jumlah anak stunting Indonesia berada di urutan ke-5 dunia.
Masalah stunting ini berkelindan dengan masalah-masalah lain. Stunting tidak hanya terkait soal kekurangan gizi, ketiadaan air bersih dan sanitasi, serta ketahanan pangan dan kemiskinan, tetapi tingginya kasus perkawinan usia anak diyakini juga berkontribusi. Usia anak dinilai belum matang melahirkan generasi penerus. Mereka yang menikah di usia anak juga sebagian besar berpendidikan rendah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, 17 persen anak Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun sehingga menempatkan Indonesia di posisi ke-7 dunia atau ke-2 ASEAN.
Selain itu, tren penyakit tidak menular cenderung meningkat dan menggerogoti populasi kelompok usia produktif. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit tidak menular pada penduduk usia 15 tahun ke atas meningkat.
Tren penyakit tidak menular cenderung meningkat dan menggerogoti populasi kelompok usia produktif.
Prevalensi stroke penduduk usia 15 tahun ke atas berdasarkan diagnosis, misalnya, naik dari 7 per mil pada 2013 menjadi 10,9 per mil tahun 2018. Prevalensi kanker naik dari 1,4 per mil tahun 2013 jadi 1,8 per mil pada 2018, prevalensi penyakit ginjal kronis naik dari 2 per mil pada 2013 jadi 3,8 per mil tahun 2018. Ada 19,3 persen penduduk dewasa pernah atau sedang cuci darah.
Dengan kondisi pendidikan dan kesehatan itu, bisa dipahami jika skor Indeks Modal Manusia (Human Capital Index) 2018 Indonesia rendah, posisi ke-87 dari 157 negara di dunia. Di antara negara di Asia Tenggara, posisi Indonesia di bawah Singapura (1), Vietnam (48), Malaysia (57), Thailand (68), dan Filipina (82).
Berkesinambungan
Untuk mengatasi defisit modal manusia tersebut, perlu kebijakan pemerintah berkesinambungan, tak mudah berubah saat kepemimpinan politik berganti. Kebijakan dengan visi jauh ke depan dan berkesinambungan itu harus memperhatikan kelompok sasaran mengingat kelompok penduduk produktif terentang dalam umur amat panjang.
Untuk kelompok muda yang menempuh pendidikan, partisipasi pendidikan harus didorong. Meski peluang belajar kian baik, angka partisipasi murni sekolah menengah atas dan perguruan tinggi pada 2017 baru 60,19 persen dan 18,62 persen. Itu lebih rendah dibandingkan dengan negara maju atau negara ASEAN yang lebih baik kesejahteraannya.
Kurikulum pendidikan juga harus bisa menjawab tuntutan industri 4.0. Kemampuan teknologi informasi dan komunikasi diperlukan, tetapi siswa perlu dibekali keterampilan yang tak bisa dilakukan mesin atau robot.
”Nilai, kepercayaan, berpikir mandiri, kerja sama, dan kepedulian ialah kompetensi lunak yang perlu diajarkan kepada siswa,” kata pendiri perusahaan e-dagang raksasa Ali Baba, Jack Ma, dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF), Januari 2018.
Untuk menghadapi perubahan zaman yang cepat, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto mengingatkan anak Indonesia harus dilatih mengantisipasi perubahan yang kerap tak terduga. Hal itu membuat mereka lebih mampu beradaptasi menghadapi ketidakpastian masa depan (Kompas, 1 Oktober 2018).
Untuk menghadapi perubahan zaman yang cepat, anak Indonesia harus dilatih mengantisipasi perubahan yang kerap tak terduga.
Kemampuan adaptasi itu juga perlu diberikan pada tenaga produktif berusia lebih lanjut. Balai latihan kerja di sejumlah daerah dioptimalkan demi memberi keterampilan baru bagi mereka agar pekerja berumur lanjut bisa bersaing dan tak tersisih akibat perubahan zaman.
Untuk membenahi mutu tenaga kerja, sektor pendidikan saja tidak cukup. Peningkatan mutu kesehatan mereka juga harus diperhatikan, khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan atau sejak janin terbentuk hingga anak berumur dua tahun.
Perbaikan mutu kesehatan itu tak bisa dilakukan hanya oleh kementerian atau lembaga yang mengurusi kesehatan. Keterlibatan kementerian yang mengurusi infrastruktur diperlukan karena banyak soal kesehatan anak-anak Indonesia terjadi akibat buruknya sarana air bersih dan sanitasi.
Segala hal untuk memperbaiki pendidikan dan kesehatan anak Indonesia harus segera dilakukan karena puncak bonus demografi tinggal dua tahun lagi. Jika tidak, puncak bonus akan lewat dan tergantikan soal baru yang membebani pembangunan, khususnya lonjakan jumlah lanjut usia.
Kegagalan memanfaatkan bonus demografi itu akan menjadikan penduduk Indonesia yang besar, keempat terbanyak di dunia, hanya jadi beban dan bencana kependudukan. Situasi itu bisa membuat Indonesia masuk dalam jebakan kelas menengah yang membuat rakyat Indonesia keburu tua sebelum sempat jadi kaya.
(M ZAID WAHYUDI / ESTER LINCE NAPITUPULU / ADHITYA RAMADHAN)